Oleh: Eskop Wisabla Mahasiswa Hukum, Universitas Muhammadiyah Sorong
Dalam dunia politik dan pembangunan, keputusan untuk menjalankan program transmigrasi ke Papua dalam Kabinet Prabowo menjadi topik yang kontroversial dan mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Program ini dimaksudkan untuk pemerataan penduduk dan peningkatan kesejahteraan di kawasan Indonesia Timur, khususnya Papua. Namun, dari perspektif sejarah dan sosial, pendekatan ini dapat dipandang lebih kompleks dan penuh tantangan.
Sejarah Kolonialisasi dan Kebijakan Transmigrasi di Papua
Papua telah menjadi wilayah strategis yang diperebutkan sejak masa kolonialisme. Dalam teori kolonialisme, pemindahan penduduk adalah salah satu cara ampuh untuk mengontrol wilayah jajahan, dianggap lebih mudah dan efektif daripada menempatkan pasukan penjaga di koloni. Sejak abad ke-19, Belanda menjamah Papua dan menginisiasi kolonialisasi dengan mengirim penduduk dari Jawa dan daerah lain ke wilayah Papua.
Setelah kemerdekaan, Indonesia menghadapi upaya Belanda yang ingin mempertahankan kendalinya di Papua Barat, hingga muncul Trikora pada 1961 yang diluncurkan oleh Presiden Sukarno. Trikora secara tegas menolak pembentukan Negara Papua Barat yang direncanakan Belanda. Meski dengan kontroversi, pada 1969 dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya memasukkan Papua Barat secara resmi ke wilayah Indonesia.
Sejak saat itu, Papua menjadi fokus pembangunan, tetapi juga menjadi wilayah dengan berbagai permasalahan mendalam. Gelombang transmigrasi mulai digencarkan untuk membawa penduduk dari Jawa dan daerah lain ke Papua. Namun, program transmigrasi ini dinilai oleh sebagian besar masyarakat Papua sebagai upaya โpengindonesiaanโ Papua yang bukan hanya soal pemerataan penduduk, tetapi juga dianggap sebagai strategi politik.
Tujuan dan Tantangan Program Transmigrasi
Program transmigrasi di era modern bertujuan untuk pemerataan pembangunan, peningkatan kesejahteraan, dan penguatan persatuan antarbangsa Indonesia. Pada 1985, Ali Moertopo pernah menyebut bahwa transmigrasi dianggap sebagai sarana memajukan masyarakat Papua. Hal ini sejalan dengan tujuan resmi transmigrasi, yaitu memperluas kesempatan kerja dan menciptakan harmoni sosial melalui integrasi budaya dan etnis.
Namun, dalam konteks Papua, kenyataan di lapangan berbeda jauh dari harapan tersebut. Kehadiran masyarakat pendatang tidak selalu berdampak positif bagi masyarakat asli Papua. Pendatang dari luar Papua yang sebagian besar berasal dari Jawa dan beberapa wilayah lain kerap kali menguasai sektor ekonomi yang lebih baik, sementara masyarakat Papua tetap berada dalam keterbatasan akses ekonomi dan pendidikan.
Program Transmigrasi dalam Kabinet Prabowo: Pembangunan atau Ancaman?
Pada 2024, program transmigrasi kembali menjadi fokus kabinet di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, dengan arahan agar Papua benar-benar menjadi bagian utuh dari Indonesia. Menteri Transmigrasi Muhammad Ifitah Sulaiman Suryanagara mengumumkan bahwa transmigrasi kali ini bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan dan memastikan setiap wilayah di Indonesia, termasuk Papua, mendapat perhatian setara.
Namun, banyak tokoh masyarakat Papua menanggapi program ini dengan skeptis. Mereka khawatir program transmigrasi akan semakin memarjinalkan orang asli Papua, yang selama ini sudah mengalami banyak ketidakadilan sosial. Kehadiran masyarakat pendatang dalam jumlah besar dikhawatirkan akan menciptakan kecemburuan sosial, yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
Sebagai contoh, berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah lama terjadi di Papua menjadi luka yang belum sembuh. Transmigrasi dalam skala besar dapat memperparah situasi ini, karena keberadaan masyarakat pendatang seringkali dianggap oleh masyarakat asli Papua sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan hak atas tanah.
Dilema Pemerataan Kesejahteraan di Papua: Transmigrasi atau Pemberdayaan Lokal?
Pemerintah pusat kerap menyoroti program transmigrasi sebagai solusi untuk pemerataan kesejahteraan. Namun, jika melihat pengalaman selama dua dekade terakhir, Otonomi Khusus (Otsus) Jilid I dan II ternyata belum memberikan dampak signifikan pada taraf hidup orang asli Papua. Banyak sarjana dan lulusan dari Papua yang masih menganggur, sementara kesempatan ekonomi lebih mudah diakses oleh masyarakat pendatang. Dampak program transmigrasi ini secara langsung maupun tidak langsung juga dianggap sebagai penyebab marjinalisasi ekonomi masyarakat Papua.
Seorang tokoh Papua mengungkapkan bahwa pendekatan pemerataan di Papua tidak bisa hanya dilakukan melalui transmigrasi. Menurutnya, kehadiran pendatang dalam jumlah besar justru bisa memunculkan patologi sosial bagi masyarakat Papua, yang merasa terpinggirkan dan kehilangan hak-hak dasar mereka atas tanah dan sumber daya alam.
โKami tidak butuh manusia baru atau pendatang, tetapi kami membutuhkan guru, layanan pendidikan, dan kesehatan yang layak serta keadilan yang benar-benar dapat menjunjung martabat kami sebagai manusia Papua yang sejati,โ ujar tokoh masyarakat tersebut.
Ancaman terhadap Hak-Hak Orang Asli Papua
Bagi banyak orang Papua, program transmigrasi ini bukan sekadar politik kependudukan, tetapi juga ancaman terhadap eksistensi mereka. Papua memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan transmigrasi dalam jumlah besar sering dianggap sebagai cara untuk mengamankan akses terhadap sumber daya tersebut oleh pihak-pihak di luar Papua.
Transmigrasi dalam skala besar juga dinilai dapat mengganggu keberlanjutan ekosistem Papua, yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat asli. Lebih dari itu, adanya dominasi masyarakat pendatang yang memegang kendali ekonomi di wilayah Papua dapat menciptakan ketimpangan sosial yang semakin sulit dijembatani.
Kesimpulan: Perlu Pendekatan Baru dalam Membangun Papua
Program transmigrasi ke Papua masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, transmigrasi diharapkan dapat menjadi sarana pemerataan dan persatuan bangsa, tetapi di sisi lain, realitas yang dihadapi masyarakat asli Papua sangat berbeda dari tujuan yang dicanangkan. Pendekatan pembangunan yang lebih sensitif dan menghormati hak-hak masyarakat asli Papua perlu menjadi prioritas.
Pembangunan di Papua harus mempertimbangkan perspektif masyarakat Papua dan memberi ruang yang cukup bagi mereka untuk berkembang tanpa harus merasa terancam oleh kehadiran masyarakat pendatang dalam jumlah besar. Investasi pada sektor pendidikan, kesehatan, dan peningkatan keterampilan masyarakat Papua mungkin lebih berdampak positif daripada sekadar mengirim transmigran baru.
โSebagai generasi Papua yang masih hidup di tengah-tengah hutan rimba raya, kami menolak transmigrasi yang mengabaikan martabat dan hak kami sebagai bangsa,โ ungkap seorang tokoh adat Papua.
Ke depan, pemerintah diharapkan mempertimbangkan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dan adil untuk Papua, yang benar-benar mendukung peningkatan kesejahteraan tanpa harus mengorbankan identitas budaya dan hak-hak orang asli Papua.(*)
Penulis adalah Foto Eskop Wisabla Mahasiswa Hukum, Universitas Muhammadiyah Sorong