Wamena, ANGGREKPAPUA- 30 Oktober 2024 – Rencana pemerintah untuk mengirimkan program transmigrasi ke Papua kembali menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Theo Hesegem, tokoh HAM Papua yang vokal, menyatakan keprihatinannya terhadap dampak negatif program ini, yang menurutnya mengancam keadilan sosial, eksistensi, dan lingkungan di Papua.
Hesegem, yang juga Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, menegaskan bahwa program transmigrasi seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan sumber daya alam. “Filsafat keadilan sosial menolak kebijakan yang mengabaikan hak-hak komunitas asli,” tegas Hesegem. “Transmigrasi yang tidak adil akan menciptakan ketimpangan ekonomi, di mana pendatang yang memiliki modal lebih besar cenderung menguasai sektor-sektor ekonomi, sementara masyarakat asli semakin kehilangan kedaulatan di tanah mereka sendiri.”
Lebih jauh, Hesegem menyinggung dampak transmigrasi terhadap eksistensi masyarakat adat Papua. “Bagi masyarakat adat, seperti di Papua, tanah memiliki makna lebih dari sekadar ruang ekonomi; ia adalah bagian integral dari jati diri dan spiritualitas mereka,” jelas Hesegem. “Eksistensialisme mengajarkan bahwa identitas dan nilai-nilai individu maupun komunitas harus dihormati agar mereka bisa hidup autentik sesuai dengan hakikat mereka. Ketidaksensitifan terhadap keberagaman budaya dan eksistensi masyarakat lokal bisa mengarah pada asimilasi paksa atau bahkan penyeragaman budaya. Hal ini tidak hanya merusak keberagaman, tetapi juga mengancam hak masyarakat asli untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah mereka jaga selama berabad-abad.”
Hesegem juga menekankan bahwa program transmigrasi berpotensi merusak ekosistem Papua yang unik dan sensitif. “Ekofilsafat menekankan bahwa alam bukan sekadar objek untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi; ia adalah entitas yang memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati,” ujar Hesegem. “Transmigrasi tanpa perencanaan ekologis akan mempercepat kerusakan lingkungan, yang pada gilirannya merusak sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup masyarakat asli dan memengaruhi keseimbangan ekologi secara keseluruhan.”
Pandangan Hesegem sejalan dengan hasil penelitian Prof. Dr. Pieter Drooglever, sejarahwan Belanda yang menerbitkan buku berjudul “An Act of Free Choice” pada 2005. Dalam bukunya, Drooglever mengungkap bahwa program transmigrasi di Papua seringkali dilakukan tanpa memperhatikan aspirasi dan hak-hak masyarakat adat, yang mengakibatkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.
Hesegem mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan transmigrasi di Papua dan lebih mendengarkan suara masyarakat Papua dalam menentukan masa depan wilayahnya. “Kami mengharapkan pemerintah dapat menjalankan program yang berpihak pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakat Papua,” tutup Hesegem. (*).
Penulis Ernest Pugiye