Pertama kali aku melihatmu, tanpa banyak berpikir, hanya dalam jiwa, rasa syukur dan bahagia yang mengalir begitu saja.
Aku mencintaimu, namun lebih dari itu, aku menyukai saat aku mulai menikmati kebersamaan dengan orang yang kucintai.
Aku sadar, tulus yang aku tawarkan, mungkin tak tepat untuk orang yang salah.
Dunia menyaksikan, kampus Universitas Muhammadiyah Sorong menjadi saksi bisu kisah hati ini,
Menjadi catatan tentang perasaan yang tak terungkapkan.
Ada sesuatu dalam hidupku yang terasa membebani, tuntutan batin yang hanya bisa disebut cinta.
Secangkir kopi kuhabiskan di pagi yang hening, hanya untuk menunggu jawaban yang tak kunjung datang darimu.
Kadang aku berpikir, perbedaan adalah hal yang wajar. Tapi kenapa kau tak jujur, jika ada yang lebih nyaman denganmu?
Aku mahasiswa, buku yang kau baca, aku juga bacaโtentang masa depan yang kadang terasa kabur.
Ya Allah, baru sekarang aku sadar, mata ini yang salah menilai dirimu.
Ternyata, kamu tahu tentang aturan saling menghargai, bukan saling menyakiti.
Katanya, mahasiswa itu belajar banyak, tentang memanusiakan manusia.
Namun demi Tuhan, aku tak menemukan cara untuk menjadi bunglon, menyesuaikan diriku dengan apa yang kau inginkan.
Secara konsep, aku yakin kamu pun paham tentang kasih sayang dan romantisme,
Namun, mohon maaf, aku tak bisa menulis kata-kata romantis yang pernah kau baca di Google.
Karena bagiku, cinta itu nyata, ada di tengah-tengah kita.
Walau aku mencintaimu dalam diam, lirikan mata yang selalu tertuju padamu, membuatku terpenjara oleh mata ini sendiri.
Menyukai dan mencintai adalah hal yang wajar bagi umat manusia.
Namun aku jujur, hanya dirimu yang menemukan sebuah hal baru dalam hidupkuโluka batin yang tak pernah sembuh.
Luka yang kau ciptakan di hatiku, yang tak pernah aku ketahui, dan yang selalu membekas.
Catatan Eskop Wisabla