ANGGREKPAPUA-NABIRE Kapiraya, Papua Tengah, 7 November 2024 – Sebuah langkah penting telah diambil untuk menjaga kedaulatan tanah adat di Papua Tengah. Tim Peduli Alam dan Manusia Kapiraya, dipimpin oleh Musa Boma, telah berhasil menanam tapal batas adat antara Suku Kamoro dan Suku Mee di wilayah perbatasan tiga kabupaten: Dogiyai, Deiyai, dan Timika.
Pertemuan dengan lima kepala desa di wilayah tersebut, yaitu Awemuka, Akar, Mapar, Kepia, dan Pronggo, menghasilkan kesepakatan penting: menetapkan tapal batas untuk melindungi tanah adat dari eksploitasi pihak luar. Musa Boma menjelaskan, “Kami ingin menjaga kekayaan alam kami, hutan dan emas di sepanjang Pantai Selatan, dari tangan-tangan yang serakah. Tapal batas ini adalah simbol perlindungan dan penghormatan terhadap hak ulayat tanah adat.”
Kesepakatan tersebut juga mencakup larangan keras bagi pihak selain Suku Kamoro dan Suku Mee untuk mengambil kayu atau mendulang emas di wilayah yang ditentukan, mulai dari Kali Wakiya hingga Kobougepuga. Perusahaan-perusahaan, dalam bentuk apapun, juga dilarang keras beroperasi di wilayah tersebut.
“Hanya Suku Kamoro dan Suku Mee, sebagai pemilik hak ulayat, yang berhak mengambil hasil alam di wilayah ini,” tegas Boma.
Langkah ini merupakan respon terhadap masuknya perusahaan ilegal, seperti PT ZoomLion Indonesia Heavy Industri, yang beroperasi tanpa izin di Distrik Kapiraya. Lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat, seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Dogiyai, terbukti tidak mampu menghentikan perusahaan tersebut.
Musa Boma, yang juga merupakan Tokoh Pemuda Papua Tengah, menyampaikan terima kasih kepada masyarakat Siriwo Mapia Piyaiye Topo dan Wanggar (SIMAPITOWA) di lima distrik di Kabupaten Dogiyai dan lima distrik di Kabupaten Nabire, serta kepada Bupati Nabire, Mesak Magai, atas dukungan mereka dalam proses penanaman tapal batas.
“Tanah adalah mama kita, yang memberikan segalanya untuk kita bertahan hidup. Tanpa tanah, kita tidak bisa hidup. Ini adalah awal dari persatuan Tota Mapiha untuk menjaga alam dan manusia dari ancaman luar,” ujar Boma.
Langkah ini merupakan bukti nyata kesadaran kolektif masyarakat adat di Papua Tengah untuk melindungi tanah leluhur mereka. Tapal batas adat ini bukan hanya simbol, tetapi juga komitmen untuk menjaga kelestarian alam dan kedaulatan masyarakat adat di Papua.