Sorong, ANGGREK PAPUA – Solidaritas Rakyat Papua se-Sorong Raya menggelar aksi damai memperingati 63 tahun Manifestasi Politik Bangsa West Papua (1 Desember 1961–1 Desember 2024).
Aksi ini berlangsung di depan Mall Ramayana, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, pada Minggu (1/12/2024).
Koordinator lapangan aksi, Appy Tarami, dalam orasinya menegaskan bahwa 1 Desember 1961 adalah tonggak sejarah berdirinya negara Papua Barat yang hanya bertahan selama 19 hari.
“Pada 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Ir. Soekarno mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) yang bertujuan menggagalkan kemerdekaan Papua Barat dan mengintegrasikannya ke dalam NKRI,” ujarnya.
Appy juga menyoroti Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan Amerika Serikat sebagai mediator.
Menurutnya, perjanjian itu bermasalah karena tidak melibatkan rakyat West Papua yang menjadi pihak utama dalam sengketa tersebut.
Pada 1 Mei 1963, administrasi wilayah West Papua diserahkan kepada pemerintah Indonesia oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Namun, Appy menyebutkan bahwa proses ini mengabaikan hak-hak rakyat Papua. Referendum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 pun dianggap cacat demokrasi karena tidak menerapkan prinsip “one man, one vote”. Dari sekitar 800.000 rakyat Papua yang memiliki hak suara, hanya 1.026 orang yang dipilih dan dipaksa di bawah intimidasi untuk menyatakan integrasi ke Indonesia.
Selain itu, Appy menyoroti penandatanganan kontrak pertama PT Freeport pada 7 April 1967, sebelum pelaksanaan PEPERA.
“Ini menunjukkan bahwa kepentingan imperialisme telah mengabaikan hak-hak rakyat Papua sejak awal,” tambahnya.
Menurut Solidaritas Rakyat Papua, Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Nomor 2 Tahun 2021 tidak memberikan perlakuan istimewa bagi rakyat Papua.
Sebaliknya, pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke Papua terus terjadi, sementara perlindungan terhadap masyarakat adat dan tanah mereka dari perampasan investasi tidak diwujudkan.
Appy juga menegaskan bahwa UU Otsus gagal menjalankan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kebijakan pembangunan melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti di Merauke, Sorong, dan Nabire disebut telah menyebabkan perampasan jutaan hektar tanah adat Papua.
Program transmigrasi yang digulirkan pemerintahan kabinet Prabowo dinilai hanya memperburuk krisis lingkungan dan budaya.
“Ekosida ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berdampak pada krisis ekonomi, penyakit, dan hilangnya budaya masyarakat adat Papua,” kata Appy.
Papua Pernyataan Sikap Solidaritas Rakyat Papua
Dalam aksi tersebut, Solidaritas Rakyat Papua se-Sorong Raya menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
1. Tarik militer non-organik dari seluruh tanah Papua.
2. Tolak program transmigrasi Jakarta dalam bentuk apa pun.
3. Hentikan PSN yang merampas hutan dan tanah masyarakat adat Papua.
4. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Penulis: Eskop Wisabla