Jayapura, (Anggrek Papua) – Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), Dewan Gereja Papua bersama Pastor Pribumi Papua menggelar “Jalan Salib Merah” pada Selasa (10/12/2024). Acara ini melibatkan komunitas dari berbagai denominasi gereja di Jayapura dan dihadiri oleh orang tua, aktivis, mahasiswa, serta masyarakat dari tujuh wilayah adat di Tanah Papua.
Mengusung tema “Salib Yesus, Jawaban Suka Duka Umat Tuhan di Tanah Papua,” kegiatan ini berlangsung di Lapangan Zakheus, Abepura, Kota Jayapura, dari pukul 14.00 hingga 17.00 WIT.
Salib merah setinggi tujuh meter menjadi simbol utama dalam acara ini, mewakili tujuh wilayah adat di Papua. Kehadiran salib ini merupakan pesan solidaritas yang kuat untuk menolak berbagai proyek yang dianggap destruktif terhadap manusia dan alam di Papua.
Frenki Woro, penggerak Gerakan Salib Merah, turut hadir dalam kegiatan ini. Ia sebelumnya telah menancapkan 1.400 salib merah di Papua Selatan sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai mengancam kehidupan masyarakat adat.
Jalan Salib Merah ini didokumentasikan melalui foto dan video, yang disiarkan secara langsung untuk dipublikasikan ke seluruh dunia. Dokumentasi ini dimaksudkan sebagai bentuk pernyataan sikap tegas dari Tanah Papua terhadap berbagai proyek yang merugikan masyarakat adat dan lingkungan.
Pernyataan Sikap Dewan Gereja Papua dan Pastor Pribumi Papua
Dalam kegiatan ini, Dewan Gereja Papua dan Pastor Pribumi Papua bersama masyarakat dari tujuh wilayah adat menyampaikan pernyataan sikap resmi sebagai berikut:
Menolak Program Strategis Nasional berupa cetak sawah baru dan perkebunan tebu yang menggusur wilayah adat saudara-saudara kami di Merauke.
Menolak Rencana Swasembada Gula dan Biotanol yang akan beroperasi di wilayah masyarakat adat Suku Yena Pernyataan ini ditekankan sebagai wujud solidaritas seluruh masyarakat adat Papua yang memiliki darah, budaya, dan perjuangan yang sama.
“Kami, masyarakat dari tujuh wilayah adat, adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan di atas Tanah Papua. Atas nama leluhur kami dan Gereja Tuhan, kami dengan tegas menolak seluruh program pemerintah yang merugikan masyarakat adat di Tanah Papua,” tegas perwakilan Dewan Gereja Papua.
Kegiatan ini menjadi simbol perlawanan damai dan solidaritas masyarakat Papua dalam mempertahankan hak-hak adat mereka. Hingga kini, seruan tersebut terus bergema sebagai harapan untuk keadilan dan kedaulatan atas tanah leluhur mereka. (*)
Penulis Novertina Iyai