Jayapura – AnggrekPapua.com – Masyarakat adat pemilik perbatasan antara Suku Mee dan Suku Kamoro menegaskan penolakan keras terhadap perusahaan-perusahaan tambang ilegal yang mencoba mengeksplorasi wilayah adat mereka.
Salah satunya adalah perusahaan Zoom Lion yang sempat memasuki wilayah tersebut.
Masyarakat kemudian membubarkan aktivitas perusahaan itu sebagai bentuk penolakan terhadap eksplorasi tambang yang dianggap merusak lingkungan. Selain itu, tim peduli alam dan manusia SIMAPITOWA turut memperjelas tapal batas wilayah adat dengan menanam papan nama sebagai penanda resmi.
Huber Boga, salah satu perwakilan masyarakat adat, mengungkapkan bahwa kedatangan mereka ke Nabire pada Jumat, 4 April 2025, merupakan hasil dari musyawarah masyarakat adat kedua kampung.
Huber bersama rekannya, Yosep Mekei, menyatakan bahwa mereka hadir mewakili masyarakat adat pemilik perbatasan bagian selatan antara Suku Mee dan Suku Kamoro.
Mereka telah bermalam dua malam di Nabire setelah berangkat dari kampung Wotai dan Digiyou. Kedatangan mereka bertujuan untuk merespons ancaman eksplorasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang ilegal.
“Kami datang sebagai bagian dari masyarakat adat pemilik wilayah ini. Beberapa perusahaan tambang, seperti Zoom Lion, sempat masuk dan kami membubarkan aktivitas mereka sebagai bentuk penolakan. Kami juga bersama tim SIMAPITOWA memperjelas tapal batas wilayah adat dengan menanam papan nama atau senk plat sebagai tanda,” ujar Huber Bogakepada media ini.
Selain itu, Huber juga menyoroti kehadiran suku Kei, yang berasal dari sekitar Tual dan Ambon, yang turut berperan sebagai pemilik hak ulayat tanah adat dan terlibat dalam administrasi pemerintahan setempat. Namun, menurut Huber, dalam catatan sejarah mereka, wilayah adat Mee dan Kamoro hanya berbatasan dengan Suku Kamoro, bukan dengan suku Kei.
Belakangan ini, beberapa perusahaan yang bekerja sama dengan suku Kamoro dan Kei telah melakukan ancaman eksplorasi tambang emas yang melewati wilayah adat yang telah mereka tandai dengan senk plat tapal batas. Huber menegaskan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Kami berharap agar masyarakat dan pihak-pihak yang peduli terhadap lingkungan serta hak-hak masyarakat adat mendesak untuk menolak perusahaan-perusahaan ilegal ini dan menyelesaikan permasalahan tapal batas wilayah adat Mee-Kamoro, serta tapal batas administrasi pemerintahan Dogiyai-Timika-Deiyai,” tambah Huber Boga.
Dengan langkah ini, mereka berharap hak-hak masyarakat adat dihormati dan eksplorasi tambang ilegal yang merusak lingkungan serta kehidupan sosial mereka dapat dihentikan. Masyarakat adat Mee dan Kamoro juga menegaskan komitmennya untuk menjaga kelestarian alam dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pemilik sah wilayah adat tersebut. (*)