Sorong, Anggrekpapua – Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia ke-63, sebuah acara diskusi dan pameran HAM digelar di Jalan Bangau II, Kelurahan Malanu, Kota Sorong, Papua Barat Daya, pada Selasa (10/12/2024).
Kegiatan ini dihadiri berbagai lapisan masyarakat, termasuk aktivis HAM, tokoh masyarakat, dan pemerhati sosial.
Acara ini juga diisi dengan diskusi yang dipantik oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Karya Kita Anak Budak (LBH), Leonardo Ijie, S.H. Dalam paparannya, Leonardo Ijie menjelaskan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak lahir tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial.
Ia menekankan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM karena hak-hak tersebut menjamin kebebasan, martabat, dan keadilan bagi setiap manusia.
“Tanpa adanya HAM, masyarakat akan rentan terhadap ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan,” tegas Leonardo.
Leonardo mengajak seluruh masyarakat untuk merefleksikan kondisi HAM di Papua, yang hingga saat ini masih menghadapi tantangan besar.
Ia menyoroti beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk meningkatnya konflik bersenjata dan ancaman terhadap para aktivis HAM di tanah Papua. Salah satu contohnya adalah kasus penembakan terhadap aktivis HAM Yan Christian Warinussy, yang hingga kini belum menemukan titik terang mengenai pelakunya.
Selain itu, Leonardo mengecam insiden serangan bom molotov terhadap kantor redaksi media Jubi di Kota Jayapura pada 16 Oktober 2024.
“Kejahatan ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kami para pegiat HAM di Papua. Tidak ada langkah serius dari negara untuk menindak pelaku,” ungkapnya. Ia menyebut insiden tersebut sebagai bentuk nyata pelanggaran HAM yang memerlukan perhatian serius.
Dalam diskusi tersebut, Leonardo mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi dan menegakkan HAM di Papua. Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005. Kovenan ini mewajibkan negara untuk melindungi hak-hak dasar seperti hak hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan hak atas proses hukum yang adil.
“Secara internasional, Indonesia sangat aktif dalam isu HAM, terutama terkait Palestina. Namun, di tanah Papua, situasi HAM sangat memprihatinkan. Aktivis HAM terus menghadapi ancaman dalam negara yang mengaku sebagai negara hukum,” ujar Leonardo.
Ia juga mengutip Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, khususnya pemerintah. “Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya menjamin bahwa penegakan hukum di Papua berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan,” tegasnya.
Melalui peringatan Hari HAM Sedunia ini, para aktivis HAM di Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM di wilayah tersebut.
Mereka juga mengajak masyarakat untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka dan melawan segala bentuk penindasan.
“Semoga refleksi ini menjadi momentum untuk membangun komitmen bersama dalam menegakkan HAM di tanah Papua, demi mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh masyarakat,” pungkas Leonardo (*)
Penulis Eskop Wisabla