Oleh: Emanuel Magai
Wacana pemekaran Mapia Raya di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, menghadirkan sebuah paradoks signifikan: meskipun dipromosikan sebagai instrumen percepatan pembangunan, inisiatif ini berpotensi kuat memicu ancaman serius terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan kualitas hidup masyarakat lokal. Artikel ini menganalisis secara kritis dinamika tersebut, menyoroti bahwa janji pembangunan yang diemban dapat bermetamorfosis menjadi ancaman sistemik terhadap dimensi lingkungan, sosial, dan kemanusiaan di salah satu wilayah vital di Tanah Papua.
Latar Belakang: Janji Pembangunan yang Menyesatkan
Pemekaran wilayah merupakan strategi administrasi yang lazim di Indonesia, seringkali didasari oleh argumentasi peningkatan efisiensi pelayanan publik, pemerataan pembangunan, dan stimulasi pertumbuhan ekonomi regional. Di Papua, isu pemekaran menjadi lebih kompleks karena interaksinya dengan sejarah otonomi khusus dan dinamika sosiopolitik yang ironi. Dalam konteks pemekaran Mapia Raya diinisiasi sebagai solusi untuk memangkas rentang kendali pemerintahan dan mengatasi isolasi geografis wilayah. Namun, di balik narasi optimistik ini, tersimpan realitas yang kurang terartikulasi secara memadai.
Wilayah Mapia adalah komponen krusial dalam ekosistem Papua, ditandai oleh hamparan hutan primer yang luas, keanekaragaman hayati yang melimpah, serta masyarakat adat yang secara fundamental bergantung pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Ironisnya, proses perencanaan pemekaran kerap kali tidak menyertakan analisis dampak komprehensif yang melampaui indikator ekonomi semata. Terdapat kecenderungan untuk mengabaikan dimensi ekologis dan sosiokultural yang memiliki nilai intrinsik tak terhingga. Pemekaran, alih-alih menjadi solusi inklusif, dapat berperan sebagai bumerang yang memecah belah kohesi komunitas, merusak ekosistem, dan bahkan mengikis identitas lokal demi kepentingan yang lebih besar namun berpotensi destruktif. Pemekaran yang terburu-buru, tanpa persiapan matang dan partisipasi berarti dari masyarakat adat, seringkali hanya memfasilitasi eksploitasi sumber daya dan memperparah konflik, alih-alih mewujudkan kemakmuran yang dijanjikan.
Data Empiris: Pola Eksploitasi yang Berulang
Ancaman yang muncul dari pemekaran bukan sekadar spekulasi teoritis; ia merupakan pola yang telah terbukti secara empiris di banyak wilayah lain di Indonesia, khususnya di kawasan timur. Pemekaran wilayah secara konsisten diikuti oleh gelombang investasi masif, terutama pada sektor ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan monokultur skala besar, dan industri logging.
Temuan survei nasional dan internasional secara konsisten menunjukkan bahwa daerah-daerah yang mengalami pemekaran di Indonesia Timur seringkali menjadi target utama bagi korporasi yang mengutamakan keuntungan jangka pendek, seringkali dengan mengorbankan integritas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagai contoh, laporan dari Forest Watch Indonesia (2020) secara eksplisit mendokumentasikan peningkatan laju deforestasi di Papua dalam dekade terakhir. Laporan ini secara spesifik menyoroti bahwa banyak izin konsesi baru dikeluarkan di wilayah-wilayah yang baru dimekarkan atau direncanakan dimekarkan. Angka-angka ini merepresentasikan bukan hanya statistik, tetapi hilangnya tutupan hutan vital yang berdampak pada hilangnya habitat satwa endemik, sumber air bersih, dan basis mata pencarian masyarakat adat.
Lebih lanjut, riset oleh Oxfam Indonesia (2019) mengindikasikan peningkatan signifikan konflik agraria antara masyarakat adat dan entitas korporasi di daerah-daerah yang sedang dalam proses pemekaran. Konflik-konflik ini timbul akibat tumpang tindihnya klaim lahan dan minimnya pengakuan terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat, yang seringkali menjadi pihak yang dirugikan dalam perebutan sumber daya. Dalam konteks Mapia Raya, ancaman ini menjadi sangat konkret. Secara geologis, wilayah ini memiliki potensi sumber daya mineral yang menarik, sementara lahan gambut dan hutan dataran rendahnya sangat ideal untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar. Analisis spasial berdasarkan data citra satelit oleh World Resources Institute (2021) mengonfirmasi bahwa daerah dengan tutupan hutan primer tinggi di Papua, seperti Mapia, adalah target utama bagi ekspansi industri. Apabila pemekaran Mapia Raya terealisasi tanpa kerangka perlindungan yang kuat dan partisipasi masyarakat adat yang bermakna, maka investasi di sektor-sektor ini akan melonjak secara drastis. Ini bukan cerminan pembangunan yang inklusif; melainkan cetak biru untuk eksploitasi dan degradasi yang berpotensi ireversibel.
Transformasi Janji Menjadi Ancaman: Dampak Multidimensional
Pemekaran Mapia Raya, alih-alih mewujudkan kemajuan yang merata, berpotensi menjadi katalisator bagi krisis multidimensional yang secara fundamental memengaruhi aspek sosial, ekologis, dan kemanusiaan. Apa yang dipromosikan sebagai janji pembangunan akan bertransformasi menjadi ancaman nyata yang mengikis fondasi kehidupan masyarakat lokal.
Secara sosial, pemekaran dapat mengikis struktur sosial masyarakat adat yang telah berevolusi selama ribuan tahun. Pembukaan akses dan masuknya investasi dari luar seringkali membawa serta budaya konsumerisme yang asing, meruntuhkan sistem nilai tradisional, dan memecah belah kohesi komunitas. Hal ini terjadi karena masyarakat adat seringkali dihadapkan pada godaan kompensasi lahan atau janji-janji pekerjaan yang pada akhirnya tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Laporan dari Perkumpulan HuMa (2018) tentang dampak pemekaran di Papua Barat secara gamblang menyoroti bagaimana fragmentasi internal di antara marga-marga adat seringkali muncul, melemahkan kapasitas kolektif masyarakat untuk mempertahankan hak-hak mereka. Ini merupakan konflik asimetris di mana modal dan kekuasaan berhadapan dengan kearifan lokal yang rentan, seringkali berujung pada marginalisasi dan dislokasi sosial.
Dari perspektif lingkungan, janji pembangunan ini dapat berubah menjadi ancaman langsung terhadap keberlanjutan ekosistem. Hutan Mapia, yang berperan sebagai paru-paru dunia dan habitat bagi keanekaragaman hayati endemik, akan terancam serius oleh laju deforestasi yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur yang tidak terencana. Hilangnya tutupan hutan akan memicu erosi tanah, kejadian banjir, dan perubahan iklim mikro, secara langsung mengancam mata pencarian masyarakat yang bergantung pada hasil hutan non-kayu. Penelitian dari Conservation International (2022) secara konsisten menunjukkan bahwa wilayah dengan masyarakat adat yang kuat dan berdaulat memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah dibandingkan wilayah yang telah terintegrasi dengan ekonomi pasar global tanpa mekanisme perlindungan yang memadai. Janji pembangunan infrastruktur seringkali menjadi dalih untuk membuka akses ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak terjamah, mempercepat laju perusakan lingkungan.
Terakhir, dari dimensi kemanusiaan, pemekaran berpotensi menciptakan kemiskinan struktural baru dan krisis identitas yang mendalam. Masyarakat lokal yang kehilangan hak atas tanah adatnya akan terpinggirkan dari mata pencarian tradisionalnya, dipaksa untuk bergantung pada pekerjaan upah yang tidak stabil di sektor ekstraktif yang seringkali bersifat boom-and-bust. Situasi ini seringkali menyebabkan masalah sosial yang serius seperti penurunan kesehatan mental, peningkatan penyalahgunaan zat, dan peningkatan angka kriminalitas akibat perubahan gaya hidup yang drastis dan hilangnya jaring pengaman sosial tradisional. Studi oleh United Nations Development Programme (UNDP, 2020) mengenai indeks pembangunan manusia di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam namun miskin tata kelola menunjukkan adanya paradoks: kekayaan alam yang melimpah justru tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Sebaliknya, mereka menjadi korban dari apa yang dikenal sebagai “kutukan sumber daya,” di mana janji kemakmuran justru membawa penderitaan dan ketimpangan.
Landasan Teoritis dan Peringatan Ilmiah
Argumentasi kritis terhadap pemekaran Mapia Raya ini berlandaskan pada beberapa teori kunci dalam studi pembangunan dan lingkungan. Teori Ketergantungan (Dependency Theory), meskipun awalnya berfokus pada hubungan antarnegara, dapat diaplikasikan untuk memahami bagaimana wilayah periferi seperti Mapia dapat dieksploitasi oleh pusat-pusat kekuasaan dan modal demi keuntungan pihak luar, yang pada akhirnya memperpetuasi keterbelakangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Frank (1966), ia memperkenalkan konsep “development of underdevelopment,” di mana pembangunan di satu wilayah justru menyebabkan keterbelakangan di wilayah lain, sebuah siklus yang berpotensi tereplikasi di Mapia.
Selanjutnya, Teori Ekologi Politik (Political Ecology) menyediakan kerangka analisis bagaimana distribusi kekuasaan dan struktur politik memengaruhi hubungan manusia dengan lingkungan. Teori ini menegaskan bahwa degradasi lingkungan bukanlah semata-mata masalah teknis, melainkan hasil dari konflik sosial dan politik atas akses dan kontrol sumber daya. Robbins (2012) dalam bukunya Political Ecology: A Critical Introduction dengan jelas menyatakan bahwa: “environmental problems are not simply about nature, but about how nature is produced, consumed, and controlled through social and political processes.” Hal ini menekankan bahwa isu-isu lingkungan di Mapia tidak dapat dipisahkan dari dinamika kekuasaan seputar agenda pemekaran.
Penting juga untuk merujuk pada konsep Ekonomi Politik Sumber Daya (Political Economy of Natural Resources) yang menjelaskan bagaimana tata kelola sumber daya alam seringkali menjadi arena perebutan kepentingan antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal. Dalam konteks Papua, Leith (2017) dalam artikelnya “Resource Curse in Papua: The Political Economy of Natural Resources and Conflict” yang dimuat di Journal of Contemporary Asia mengemukakan bahwa: ” Upaya pembangunan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam di Papua selama ini telah merusak mata pencaharian masyarakat setempat, memperparah kesenjangan sosial, dan memicu konflik berkepanjangan. Kondisi ini sering kali diperparah oleh tidak adanya tata kelola pemerintahan yang efektif dan kurangnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.โ Kutipan ini sangat relevan untuk Mapia, menunjukkan bagaimana janji pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya seringkali berujung pada kerusakan sosial dan lingkungan yang parah.
Lebih lanjut, mengenai dampak sosial pemekaran, penelitian oleh Chaniago dan Al-Amin (2020) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik berjudul “Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Konflik Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat di Papua” menemukan bahwa: “Pemekaran daerah di Papua seringkali tidak diikuti dengan penguatan kapasitas kelembagaan lokal dan pengakuan hak-hak adat, yang pada akhirnya memperparah konflik agraria dan memicu fragmentasi sosial di tingkat komunitas.” Temuan ini menegaskan bahwa tanpa fondasi yang kuat dalam tata kelola partisipatif dan penghormatan terhadap kearifan lokal, janji pembangunan melalui pemekaran dapat bertransformasi menjadi resep bagi bencana sosial.
Kesimpulan: Mendesak Peninjauan Ulang terhadap Janji Pembangunan
Melihat kompleksitas dan potensi dampak destruktifnya, wacana pemekaran Mapia Raya perlu ditinjau ulang secara komprehensif, dengan mempertimbangkan segala dimensi sosial, lingkungan, dan kemanusiaan. Memaksakan pemekaran tanpa analisis dampak lingkungan strategis yang menyeluruh dan partisipasi penuh dari masyarakat adat merupakan tindakan yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Intelektual Mapia yang ingin mekarjan kabupaten mapia raya harus belajar dari kesalahan masa lalu di wilayah lain di mana janji-janji pembangunan berujung pada eksploitasi, kemiskinan, dan penderitaan bagi masyarakat adat.
Pembangunan yang berkelanjutan harus mengedepankan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal, bukan mengorbankannya demi keuntungan jangka pendek bagi segelintir intelektua mapiha yang haus akan jabatan. Apabila pemekaran Mapia Raya terus dipaksakan tanpa mengindahkan peringatan ini, maka apa yang dimulai sebagai janji pembangunan yang mulia akan berujung pada ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat Mapia, bagi keutuhan ekosistem Mapia, dan bagi prospek masa depan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh penghuninya. Ini adalah seruan mendesak untuk meninjau kembali prioritas pembangunan dan memastikan bahwa kemajuan tidak direalisasikan dengan mengorbankan kehancuran.
Penulis adalah mahasiswa simapitowa yang sedang menyanyam studi dikota studi jayapura