24.2 C
Special Region of Papua
Kamis, Mei 29, 2025

Pemekaran Mapia Raya: Ancaman Bagi SDA dan SDM Mapia, Kabupaten Dogiyai

BACA JUGA

Oleh: Emanuel magai

MAPIA Raya, sebuah kawasan di Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, adalah rumah bagi masyarakat adat yang hidup bersatu dengan alam dan mengandalkan sumber daya lokal untuk bertahan hidup. Dalam beberapa dekade terakhir, wilayah ini menjadi subjek wacana pemekaran administratif, dengan tujuan yang diklaim sebagai percepatan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, di balik tujuan yang tampak mulia tersebut, tersimpan kekhawatiran mendalam mengenai dampaknya terhadap keberlanjutan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Mapia.

Pemekaran wilayah, yang awalnya dimaksudkan untuk mendekatkan layanan publik, dalam banyak kasus justru menjadi alat politis dan ekonomi yang menjauhkan masyarakat asli dari ruang hidup dan hak-haknya. Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2009) dalam “Papua Road Map” menyebut bahwa pemekaran wilayah di Papua lebih sering didorong oleh kepentingan elite politik lokal dan investor ketimbang aspirasi murni masyarakat. Hal ini terbukti dengan lahirnya banyak daerah otonomi baru (DOB) yang gagal menjawab persoalan kemiskinan struktural, keterisolasian wilayah, dan ketimpangan pembangunan. Mapia Raya menghadapi risiko serupa.

Kekayaan alam Mapia Raya, hutan lebat, air jernih, tanah subur, serta keanekaragaman hayati merupakan tulang punggung kehidupan masyarakat. Namun, pengalaman Papua selama dua dekade terakhir memperlihatkan bahwa pemekaran hampir selalu diikuti oleh pembukaan akses terhadap sumber daya alam, ekspansi ekonomi ekstraktif, dan masuknya investasi luar yang mengabaikan kearifan lokal. Forest Watch Indonesia (2022) mencatat bahwa lebih dari 67% lahan di DOB Papua yang baru mengalami konversi fungsi hutan akibat perizinan yang meningkat pesat pasca pemekaran.

Di sisi lain, pemekaran juga membawa ancaman terhadap SDM lokal. Ketimpangan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masih tinggi. BPS (2020) mencatat bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) Papua berada di urutan paling bawah secara nasional. Dalam konteks Mapia, di mana infrastruktur dasar masih minim, pemekaran justru berpotensi menambah kompleksitas masalah dengan menciptakan birokrasi baru tanpa sumber daya manusia yang memadai untuk mengelolanya.

Rakyat Mapia yang selama ini hidup dalam tatanan sosial berbasis nilai adat, akan mengalami guncangan sosial apabila pemekaran memaksakan sistem modern yang tak sejalan dengan nilai lokal. Studi Munro (2018) dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology menyatakan bahwa modernisasi struktural kerap menggantikan otoritas adat dengan elit politik baru, menciptakan dislokasi sosial dan memudarnya identitas budaya.

Melalui pendekatan ekologi politik dan teori pembangunan partisipatif, artikel ini menegaskan bahwa pemekaran Mapia Raya bukanlah jalan menuju kemajuan, tetapi justru menjadi gerbang kehancuran ekologis dan sosial apabila tidak diiringi prinsip keadilan ekologis, partisipasi otentik, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Dampak Pemekaran terhadap Sumber Daya Alam (SDA)

Wilayah Mapia Raya merupakan bagian dari bentang alam Pegunungan Papua yang masih relatif terjaga. Hutan-hutan tropis yang membentang di wilayah ini bukan hanya rumah bagi keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk spesies endemik Papua yang langka tetapi juga merupakan sistem pendukung kehidupan bagi masyarakat adat. Namun rencana pemekaran wilayah ini menjadi daerah otonom baru membuka celah bagi eksploitasi sumber daya alam yang masif. Seperti yang telah terbukti di banyak wilayah lain di Papua, pemekaran seringkali menjadi dalih administratif bagi percepatan ekspansi industri ekstraktif seperti penebangan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan.

Penelitian oleh Austin dkk. (2019) yang dimuat dalam Environmental Research Letters mencatat bahwa laju deforestasi di Papua meningkat secara signifikan sejak meluasnya jalan dan pembukaan wilayah untuk kegiatan industri. Dalam skenario yang dihasilkan oleh konsorsium organisasi masyarakat sipil Papua dan lembaga internasional seperti CIFOR dan WRI (2021), Papua diproyeksikan kehilangan hingga 4,5 juta hektare hutan primer pada tahun 2036 apabila kebijakan pembangunan tidak mempertimbangkan perlindungan lingkungan. Mapia Raya, sebagai wilayah dengan topografi relatif datar dan infrastruktur yang mulai terbuka, menjadi target empuk investasi skala besar.

Hilangnya hutan di wilayah ini tidak hanya berarti hilangnya pohon-pohon dan satwa liar. Bagi masyarakat adat Mapia, hutan adalah bagian dari tubuh sosial dan spiritual mereka. Dalam penelitian oleh Boissiรจre dkk. (2013) dalam Ecology and Society , disebutkan bahwa masyarakat adat Papua mengelola hutan berdasarkan nilai-nilai leluhur, melalui sistem larangan lokal (sasi) dan batas-batas adat yang diwariskan lintas generasi. Dengan masuknya kapital dan mekanisme ekonomi modern, kontrol terhadap tanah dan hutan beralih ke tangan investor atau negara, menjauhkan masyarakat dari peran mereka sebagai penjaga alam.

Selain deforestasi, pemekaran wilayah juga biasanya diikuti oleh proyek-proyek infrastruktur besar seperti jalan raya, bandara, dan fasilitas pemerintahan. Infrastruktur semacam itu, meskipun penting bagi pelayanan publik, seringkali dibangun tanpa kajian lingkungan yang memadai. Jalan yang hutan pemotongan bukan hanya mempermudah akses manusia, tetapi juga menjadi pembuka jalan bagi penebangan pembohong dan perburuan satwa ilegal. Seperti yang dicatat oleh Sloan dkk. (2017) dalam jurnal Nature Ecology & Evolution , pembangunan jalan di kawasan hutan tropis merupakan faktor pendorong utama hilangnya habitat dan fragmentasi ekosistem.

Sementara pemerintah pusat sering menjadikan argumen “pemerataan pembangunan” dan “akses layanan publik” sebagai dasar pemekaran, kenyataannya pembangunan seringkali tidak adaptif terhadap konteks ekologis dan sosial lokal. Di Papua, contoh proyek-proyek gagal yang justru menyebabkan kerusakan alam sangatlah banyak. Proyek MIFEE di Merauke, yang dimaksudkan untuk menjadi lumbung pangan nasional, berubah menjadi lahan kelapa sawit, menyebabkan hilangnya 1,2 juta hektar hutan dan lahan basah, serta konflik sosial yang berlarut.

Mapia Raya kini berada di titik krusial. Jika pemekaran dilanjutkan tanpa skema perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat yang memadai, maka kerusakan ekosistem akan menjadi keniscayaan. Perubahan iklim yang kian ekstrem. ditandai dengan kekeringan yang berkepanjangan, curah hujan yang tak menentu, dan meningkatnya bencana hidrometeorologi, hanya akan memperparah situasi. Tanpa hutan yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem, masyarakat Mapia tidak hanya kehilangan sumber kehidupan mereka, tetapi juga sistem pengetahuan lokal yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Dalam konteks teori ekologi politik, pemekaran wilayah tidak bisa dipandang semata-mata sebagai kebijakan administratif, melainkan sebagai intervensi politik terhadap ruang kehidupan masyarakat. Seperti dijelaskan Robbins (2020) dalam bukunya Political Ecology: A Critical Pengenalan , kekuasaan atas ruang cenderung digunakan untuk kepentingan ekonomi-politik, bukan untuk kepentingan ekologis atau kesejahteraan rakyat. Mapia, dengan segala kekayaan hayatinya, berpotensi menjadi korban dari mekanisme kekuasaan yang menyamar sebagai pembangunan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan terutama masyarakat adat untuk meninjau kembali logika pemekaran wilayah. Apakah pemekaran benar membawa kebaikan, atau justru membuka pintu bagi kemusnahan alam dan kehidupan yang telah terjaga selama berabad-abad?

Dampak Pemekaran terhadap Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam dinamika pembangunan modern, manusia seringkali diposisikan hanya sebagai objek pembangunan, bukan subjek yang memiliki suara dan peran utama dalam menentukan arah kebijakan. Inilah yang menjadi kekhawatiran utama dalam wacana pemekaran Mapia Raya: bahwa masyarakat asli Mapia akan tersingkir dari tanah mereka sendiri oleh kebijakan yang menjanjikan kesejahteraan namun pada praktiknya meminggirkan mereka dari pusat pengambilan keputusan.

Pemekaran wilayah, sebagaimana terjadi di berbagai bagian Papua, nyaris selalu diikuti oleh peningkatan arus migrasi dari luar Papua. Studi BPS (2020) menunjukkan bahwa proporsi penduduk non-OAP di DOB meningkat tajam pasca pemekaran, terutama di sektor ekonomi strategis. Sementara masyarakat asli tertinggal karena keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan teknis. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) mencatat angka partisipasi sekolah menengah atas di wilayah pegunungan tengah Papua di bawah 60%, jauh dari rata-rata nasional.

Lebih dari sekadar akses pendidikan, pemekaran juga mengancam eksistensi sosial-budaya masyarakat Mapia. Masuknya sistem pemerintahan modern dan logika administrasi negara menggeser peran struktur adat dan norma sosial yang selama ini menjaga tatanan hidup masyarakat. Studi Munro (2018) menyebutkan bahwa โ€œdisplacement of indigenous authorityโ€ adalah salah satu dampak paling merusak dari modernisasi yang tidak berbasis budaya.

Dampaknya tidak hanya struktural, tetapi juga psikososial. Laporan YAKEM (2021) menunjukkan meningkatnya kasus depresi, trauma, dan disfungsi sosial pada komunitas yang mengalami pemaksaan pembangunan tanpa partisipasi aktif. Di Mapia, hal ini akan mengancam keberlanjutan komunitas adat dan sistem pengetahuan lokal mereka.

Landasan Teori dan Analisis Ilmiah

Konsep pembangunan berkelanjutan (Brundtland, 1987) menekankan pentingnya keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial. Dalam konteks Mapia Raya, pemekaran yang berorientasi pada birokrasi dan eksploitasi SDA jelas bertentangan dengan prinsip ini. Mardiah et al. (2019) dalam Sustainability Science menegaskan bahwa pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan menghasilkan kerusakan jangka panjang.

Teori ekologi politik (Robbins, 2020) memandang pemekaran sebagai alat kontrol ruang dan sumber daya oleh elit. Ginting & Pye (2021) dalam The Extractive Industries and Society menunjukkan bahwa DOB membuka jalan bagi masuknya industri ekstraktif melalui perizinan yang kerap tanpa konsultasi masyarakat adat.

Ketimpangan struktural, sebagaimana dijelaskan dalam laporan The Asia Foundation (2020), memperlihatkan bahwa tanpa penguatan kapasitas SDM lokal, DOB justru mereproduksi marginalisasi OAP. Tanpa pendekatan partisipatif (Chambers, 1994), pemekaran berisiko menjadi instrumen kolonialisme baru dalam bentuk pembangunan.

Forest Watch Indonesia (2022) menyebutkan bahwa ekspansi administrasi meningkatkan pembukaan hutan adat. UNDP (2021) melaporkan bahwa sebagian besar DOB di Papua gagal meningkatkan indeks pembangunan manusia secara signifikan.

Kesimpulan

Akhirnya penulis merasa Pemekaran Mapia Raya tidak dapat dilihat semata sebagai upaya administratif. Ia adalah kebijakan yang membawa risiko besar terhadap lingkungan hidup, sistem sosial, dan masa depan manusia Mapia. Ketika pembangunan dilakukan tanpa mendengarkan masyarakat, tanpa perlindungan atas hak tanah dan budaya, serta tanpa evaluasi berbasis data, maka hasilnya bukan kemajuan, melainkan kehancuran.

Mapia tidak membutuhkan lebih banyak batas administratif. Mapia membutuhkan pengakuan, perlindungan atas hutan dan tanah adat, pendidikan yang kontekstual, dan pembangunan yang berakar pada nilai-nilai lokal. Menolak pemekaran bukanlah bentuk anti-pembangunan, melainkan bentuk pembelaan terhadap hak hidup dan masa depan yang berkelanjutan.

Penulis Adalah mahasiswa asal Mapia yang sedang menyanyam studi di kota studi jayapura.

 

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE ยป