30.1 C
Special Region of Papua
Minggu, Desember 22, 2024

Papua dalam Tulisan: Suara Rakyat dari Pena Sesilius Kegou

BACA JUGA

Nabire, (Anggrekpapua)-– Anak Papua yang masuk pada  2020-2021 tingkat perguruan tinggi pasti tahu Siapa (Sesilius Kegou). Dengan hadirynya Buku Kumpulan cerpen (Jejak darah ) 2020) Sempat Viral di sosial media.

Di jantung belantara Papua, seorang anak muda menyulut bara perubahan melalui kata-kata. Sesilius Kegou, seorang penulis muda dengan semangat yang menyala-nyala, telah menjadikan pena sebagai senjatanya. Dalam deretan kisah yang ia torehkan, suara-suara yang selama ini terbungkam menemukan panggungnya. Dua buku karyanya, _Jejak Darah_ (2020) dan _Rintihan Suara Nyawa_ (2022), menjadi saksi perjalanannya sebagai penjaga kisah dan perlawanan rakyat Papua.

Cover dapan dan belakang buku Rintihan suara Nyawa Karya sesilius Kegou (Its)

Dalam sebuah kunjungan ke SD Inpres Erega, Kaimana, Papua Barat Daya, Sesilius tak hanya menyapa para siswa tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang menulis. “Menulis sangat asyik, terutama ketika menulis tentang tanah dan manusia Papua. Saya menulis untuk menyuarakan suara kaum lemah dan yang tak bersuara. Sayang jika kisah tentang eksploitasi, eksplorasi, radikalisasi, dan berbagai luka di tanah Papua dibiarkan berlalu begitu saja tanpa catatan,” ujarnya penuh semangat.

Sesilius Kegou Penulis 2 Buku “Jejak Darah” 2020, Rintihan Suara Nyawa 2022, Saat mengunjungi sekolah dasar Inpres Erega, Kaimana Ppaua barat Daya. (Pribadi)

Pena Sebagai Perlawanan
Bagi Sesilius, menulis bukan sekadar hobi atau kegiatan biasa. Menulis adalah bentuk perlawanan yang melampaui kata-kata. Ia percaya bahwa menulis mampu membongkar ketidakadilan dan membuka mata banyak orang terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di tanah Papua. “Saya menulis untuk mereka yang sudah tiada, untuk orang-orang Papua yang mati memperjuangkan kebenaran. Buku-buku saya adalah monumen kecil bagi perjuangan mereka,” ungkapnya.

Perjalanan literasinya tidak hanya berdampak pada dirinya secara pribadi tetapi juga menginspirasi banyak orang di sekitarnya. “Menulis itu menguntungkan. Dari hasil penjualan dua buku saya, _Jejak Darah_ dan _Rintihan Suara Nyawa_, saya bisa membangun rumah. Selain itu, karya saya dikenal hingga luar Papua. Ini membuktikan bahwa menulis bukan hanya soal kata, tapi juga membuka jalan rezeki dan pengakuan,” tuturnya.

Namun, bagi Sesilius, nilai utama dari menulis terletak pada kemampuannya untuk membangun generasi yang sadar literasi. Ia menyayangkan rendahnya minat baca dan tulis di kalangan generasi muda Papua. “Regenerasi itu penting. Generasi Papua harus menyadari bahwa kita bukan bangsa budak. Literasi harus menjadi akar kuat yang membumi di tanah ini,” tegasnya.
Tanah Papua sebagai Inspirasi

Sesilius Kegou saat ke kampng halaman foto Faceebok sesilius Kegou

Karya-karya Sesilius adalah cerminan langsung dari rasa cintanya yang mendalam terhadap Papua. Buku _Rintihan Suara Nyawa_ menjadi salah satu karya yang ia dedikasikan untuk tanah kelahirannya. Dalam buku ini, ia menggambarkan penderitaan rakyat Papua dengan metafora yang mengguncang hati. “Jika tanah Papua harus dibentengi, aku akan gunakan tulang-tulangku sebagai pagar. Tulang kepala akan kuhadapkan ke matahari terbit agar rintihan nyawa dari tanah ini didengar oleh Tuhan,” tulisnya dalam salah satu bagian buku tersebut.

Kisah yang ia tuangkan bukan sekadar cerita, melainkan jeritan dari tanah surga yang terus diperas dan dilukai. “Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi. Namun, surga ini menjadi tempat praktik kapitalisasi, eksploitasi, dan pelanggaran HAM oleh elite, baik dari Indonesia maupun negara lain seperti Amerika,” ujarnya. Melalui karyanya, Sesilius berusaha memperlihatkan realitas pahit yang sering kali ditutup-tutupi oleh berbagai pihak.

Sesilus Kegou saat Memberikan materi kepada mahasiswa nabire di Jayapura foto Novertina Iyia ANGGREKPAPUA

Jejak Anak Dusun yang Menyalakan Literasi
Lahir di tengah belantara Piyaiye, Kabupaten Dogiyai, pada 8 September 1998, perjalanan hidup Sesilius adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Terlahir dari pasangan Isaiyas Kegou dan Elisabeth Pokuai, ia tumbuh di kampung Yegeiyepa, sebuah dusun kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Pendidikan dasar ia tempuh di SD Negeri Inpres Yegeiyepa, lalu berlanjut ke SMP PGRI Nabire dan SMA hingga akhirnya menyelesaikan pendidikan di Universitas 17 Agustus 1945 Semarang pada 2020.

Bung piyaiye sapaan akrap sesil saat lukis foto Facebook sesilius Kegou

Di sela-sela kesibukannya sebagai penulis, Sesilius juga membuka forum literasi bernama “Para-para Kang Uwigau.” Forum ini menjadi tempat bagi anak-anak muda Papua untuk belajar menulis dan mengejar mimpi mereka. Bagi Sesilius, mendidik generasi muda Papua adalah tugas yang tak bisa ditunda. “Saya ingin literasi membumi di Papua. Setelah kita merdeka, kita harus mengenali diri kita sendiri sebagai bangsa yang bermartabat,” katanya.

Menulis Hingga Akhir

Dengan buku ketiganya yang kini dalam proses penerbitan, Semangat Sesilius tak pernah surut. Ia bertekad untuk terus menulis hingga akhir hayatnya. “Menulis tidak akan saya tinggalkan. Ini adalah aktivitas utama saya, panggilan hidup saya,” tegasnya.

Bermula dr sini. Yegeiyepa, Piyaiye – Dogiyai. sorgaku FOTO Facebook sesilius Kegou

Sesilius Kegou adalah contoh nyata bahwa kata-kata mampu mengguncang dunia. Dari sebuah dusun kecil di Papua, ia telah menjadikan dirinya penjaga suara, penjaga kisah, dan penjaga harapan. Dengan pena di tangannya, ia menggugat langit dan menyuarakan mimpi-mimpi rakyat Papua yang selama ini terpendam.

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE »