Jayapura (Anggrek Papua) – Sebuah ruang diskusi yang penuh makna digelar di Asrama Putri Nabire, Perumnas 1 Waena, Kota Jayapura, pada Minggu (18/11/2024).
Greenpeace Indonesia menghadirkan nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter 17 Surat Cinta.
Acara ini menggugah perhatian publik terhadap perjuangan masyarakat adat Papua melawan perampasan lahan dan kerusakan lingkungan yang semakin mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Papua dan Aceh: Luka yang Sama di Tanah Air
Aksa Hamadi, salah satu penanggap film, menegaskan bahwa situasi yang dihadapi Papua tidak jauh berbeda dengan Aceh. Meski keduanya diberi status otonomi khusus, realitas menunjukkan bahwa janji kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian masih jauh dari harapan.
“Kejadian di luar Papua sama dengan yang kita alami di sini. Baik Papua maupun Aceh diberikan otonomi khusus, tetapi justru menimbulkan luka yang sama. Akhirnya, masyarakat bertanya-tanya, kenapa harus ada tuntutan merdeka? Karena negara membuat kita seperti ini,” ungkap Aksa, menyuarakan kegelisahan banyak pihak.
Lebih lanjut, ia menyoroti bagaimana pemerintah justru memberikan sebagian besar tanah kepada perusahaan besar, sementara masyarakat adat hanya menerima sisa yang kecil.
“Perjuangan mempertahankan tanah adat harus terus berlanjut. Negara melarang perlawanan, tapi ironisnya mereka sendiri yang menjadi pelaku utama perampasan lahan. Dari film tadi, terlihat bahwa hanya 7% lahan diberikan kepada masyarakat adat, sedangkan 93% jatuh ke tangan perusahaan,” tambahnya.
Kapitalisme yang Mengancam Paru-Paru Dunia
Penanggap lain, Yason Ngelia, memperingatkan dampak eksplorasi kapitalis yang meluas hingga ke jantung Papua. Hutan yang selama ini menjadi paru-paru dunia, katanya, berada di bawah ancaman besar.
“Eksploitasi ini bukan hanya merugikan masyarakat adat, tapi juga memengaruhi flora, fauna, dan ekosistem global. Hutan Papua, yang menyumbang pengurangan emisi karbon dunia, perlahan tergerus,” ujar Yason.
Ia juga mengkritik kebijakan pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto, yang menurutnya membuka pintu lebar bagi eksplorasi masif melalui proyek strategis nasional (PSN) dan program transmigrasi.
“Papua menjadi target utama eksplorasi besar-besaran. Program ini mengancam masyarakat adat secara langsung. Lahan mereka dirampas, mereka digusur tanpa ganti rugi yang layak. Ironisnya, pendatang diberi fasilitas lebih baik dibanding masyarakat lokal yang hidup di atas tanah ini,” tambahnya.
Film yang Menghidupkan Perlawanan
17 Surat Cinta menjadi medium yang menyuarakan aspirasi masyarakat adat, mengungkap ironi kebijakan pembangunan, dan memantik perlawanan terhadap eksploitasi yang mengorbankan manusia serta alam.
Diskusi setelah pemutaran film tidak hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga ajakan untuk terus bergerak demi menjaga tanah, hutan, dan hak-hak masyarakat adat.
Melalui acara ini, Greenpeace Indonesia mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Film ini adalah surat cinta yang berisi suara perlawanan—untuk hak ulayat, untuk keberlanjutan hutan, dan untuk masa depan Papua yang lebih adil.(*)
Penulis Novertina Iyai