Sorong, Anggrek Papua – Masyarakat Adat Papua mendukung langkah DPR RI untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat pada tahun 2025.
Regulasi ini diharapkan dapat memberikan pengakuan hukum yang jelas terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan melindungi hak-hak mereka.
DPR RI telah memasukkan RUU Masyarakat Hukum Adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Martin Manurung, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, optimis bahwa RUU tersebut akan disahkan pada tahun depan.
“Kami dari Fraksi Partai NasDem menilai RUU ini mendesak untuk segera disahkan. Regulasi ini akan memberikan pengakuan, perlindungan, pemberdayaan, serta kepastian hukum bagi masyarakat adat,” ungkap Martin, Selasa, 19 November 2024.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menegaskan pentingnya pengakuan atas hutan adat dan ruang hidup masyarakat adat dalam RUU ini.
“Konflik selama ini terjadi karena tidak adanya pengakuan hukum terhadap masyarakat adat,” katanya. AMAN mencatat 687 konflik agraria di wilayah adat selama 10 tahun terakhir, mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik ini menyebabkan diskriminasi terhadap lebih dari 925 warga adat, dengan 60 di antaranya mengalami kekerasan aparat dan satu meninggal dunia.
Fraksi dan Dukungan Politik
RUU ini diusulkan oleh tiga anggota DPR, yaitu Sulaeman Hamzah, Martin Manurung, dan Rudianto Lallo, serta didukung Fraksi PDI-P, PKB, dan DPD RI.
Anggota Baleg dari Fraksi PKB, Daniel Johan, juga menilai RUU ini sebagai prioritas utama karena menyangkut kepentingan masyarakat adat.
“RUU ini adalah amanat konstitusi yang harus segera disahkan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat,” ujar Ketua Umum Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI), OK Sidin.
Ia menekankan bahwa penyelesaian konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat hanya dapat dilakukan jika RUU ini segera diundangkan.
Sejarah Perjuangan Masyarakat Adat
Di tingkat internasional, isu masyarakat adat menjadi perhatian sejak seminar PBB di Jenewa pada 1989. Seminar ini menyimpulkan adanya marginalisasi terhadap masyarakat adat di seluruh dunia. Pada tahun 1992, Konferensi Bumi di Rio de Janeiro mengakui peran penting masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Di Indonesia, RUU Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan sejak 2010, tetapi belum disahkan hingga saat ini.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menjadi salah satu dasar penting dalam pembahasan RUU ini. Putusan tersebut menghapus frasa “negara” dalam definisi hutan adat, sehingga hutan adat tidak lagi dianggap sebagai hutan negara.
Masyarakat Adat Papua: Harapan Baru
Masyarakat adat Papua, dengan tujuh wilayah adatnya Mamta, Saireri, Meepago, Lapago, Ha Anim, Domberai, dan Bomberai merupakan pewaris budaya yang unik dan telah lama mempertahankan karakteristik sosial, budaya, dan politik mereka. Namun, mereka sering menjadi kelompok yang paling rentan dan terpinggirkan.
Pengakuan atas hak tanah, wilayah, dan sumber daya tradisional menjadi tuntutan utama masyarakat adat Papua. Dengan disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat, masyarakat adat diharapkan dapat memperoleh perlindungan, pengakuan, dan kepastian hukum yang selama ini diabaikan.
Penulis: Eskop Wisabla