24.2 C
Special Region of Papua
Kamis, Mei 29, 2025

Pemekaran Mapia RAYA Siapa yang Untung, Siapa yang Tersingkir?

BACA JUGA

Oleh: Makiko Mote

Di atas kertas, pemekaran wilayah selalu tampak sebagai solusi yang indah: mempercepat pembangunan, mendekatkan layanan pemerintahan kepada rakyat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, bagi masyarakat adat di Mapiha, pemekaran justru menghadirkan realitas yang jauh dari harapan. Di balik janji-janji manis yang terus dikumandangkan, tersimpan ancaman nyata terhadap alam, budaya, dan hak hidup masyarakat lokal.

Pemekaran: Mesin Politik Berkedok Pembangunan

Pemekaran wilayah bukanlah proses yang netral. Ia sarat kepentingan politik dan ekonomi, sering kali lebih menguntungkan segelintir elit daripada rakyat banyak. Di Papua, termasuk Mapiha, pemekaran telah menjadi alat politik untuk memperluas pengaruh, menambah jabatan, dan membuka jalan bagi masuknya investasi besar yang tidak selalu berpihak pada kepentingan masyarakat adat.

Setiap daerah baru berarti peluang bagi elit lokal untuk duduk di kursi kekuasaan, mengelola anggaran, dan membentuk struktur pemerintahan sendiri. Namun, apakah struktur baru ini benar-benar hadir untuk melayani rakyat? Atau hanya memperdalam ketimpangan dan memperluas jarak antara penguasa dan yang dikuasai?

Kerusakan Lingkungan sebagai Harga Pemekaran

Salah satu dampak paling nyata dari pemekaran wilayah adalah pembukaan akses terhadap sumber daya alam secara masif. Di Mapiha, pembukaan lahan untuk perkebunan tebu, tambang emas, batu bara, serta industri ekstraktif lainnya meningkat pesat pascapemekaran. Hutan adat yang dulunya menjadi benteng kehidupan kini semakin tergerus.

Sebagai contoh, setelah pemekaran yang melahirkan Provinsi Papua Selatan, terjadi pengurangan luas hutan Papua Barat dari 9,7 juta hektar menjadi hanya 6,3 juta hektar. Penurunan drastis ini mencerminkan lemahnya tata kelola lingkungan dan tidak mampunya pemerintahan baru menjaga keanekaragaman hayati. Padahal, hutan di Papua adalah paru-paru terakhir Indonesia dan rumah bagi ribuan spesies unik.

Lebih dari itu, eksplorasi sumber daya seperti minyak, gas, kayu, dan tambang telah menyebabkan degradasi lingkungan secara besar-besaran. Sungai-sungai tercemar, tanah menjadi tandus, dan akses masyarakat terhadap air bersih terganggu. Hutan yang sebelumnya menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan spiritualitas kini hanya tinggal kenangan.

Masyarakat Adat: Ditinggalkan di Tanah Sendiri

Masyarakat adat Mapiha tidak hanya kehilangan tanah dan hutan, tapi juga kehilangan kendali atas masa depannya. Tanah ulayat yang telah diwariskan turun-temurun dijual atau diambil alih demi proyek-proyek pembangunan. Dalam proses ini, suara masyarakat sering kali tidak didengar. Konsultasi publik yang seharusnya menjadi ruang dialog berubah menjadi formalitas belaka.

Selain itu, pemekaran justru menciptakan konflik baru di dalam komunitas. Perpecahan antarsuku atau marga terjadi karena batas administratif yang memisahkan kelompok yang sebelumnya hidup bersama. Klaim atas tanah, perbedaan dalam akses terhadap bantuan pemerintah, dan perebutan jabatan lokal menjadi sumber ketegangan yang terus membesar.

Di banyak kasus, masyarakat adat hanya menjadi objek, bukan subjek pembangunan. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sementara dampak buruk harus mereka tanggung sendiri: hilangnya lahan, rusaknya ekosistem, serta memudarnya budaya dan kearifan lokal.

Narasi Pembangunan yang Menyesatkan

Pendukung pemekaran sering kali mengangkat narasi peningkatan kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, dan percepatan pelayanan publik. Namun, sejauh ini yang paling merasakan manfaat pemekaran adalah investor luar dan elit lokal yang terlibat dalam politik anggaran dan proyek-proyek infrastruktur.

Pembangunan jalan, kantor pemerintahan, dan fasilitas umum memang ada, tetapi akses terhadap fasilitas itu sering kali tidak merata. Orang asli Papua, khususnya masyarakat adat Mapiha, tetap berada di pinggiran. Proyek-proyek besar dikerjakan oleh kontraktor luar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh kasar, atau malah digusur.

Padahal, yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar gedung baru, melainkan jaminan atas tanah, hutan, air bersih, pendidikan, dan kesehatan. Tanpa itu semua, pemekaran hanya akan menjadi simbol pembangunan semu.

Suara dari Tanah Mapiha

Sebagai bagian dari generasi muda adat Mapiha, saya tidak bisa tinggal diam melihat proses pemekaran yang mengorbankan masa depan tanah kelahiran kami. Tanah Mapiha bukanlah ruang kosong yang siap dibagi-bagi demi kepentingan politik. Ia adalah rumah leluhur, tempat kami berakar, hidup, dan tumbuh.

Kami menyaksikan langsung bagaimana pemekaran telah mengubah lanskap sosial dan ekologis wilayah kami. Hutan-hutan dibabat, sungai tercemar, dan adat istiadat mulai ditinggalkan. Generasi muda Mapiha kini berhadapan dengan masa depan yang tidak pastiโ€”terjepit antara janji palsu pembangunan dan kenyataan perampasan.

Menuju Pemekaran yang Berkeadilan

Jika pemekaran benar-benar dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat, maka ia harus dirancang dengan partisipasi penuh masyarakat adat. Prosesnya harus transparan, demokratis, dan menghormati hak ulayat serta kedaulatan masyarakat lokal.

Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh memaksakan pemekaran sebagai solusi tunggal. Sebaliknya, harus ada evaluasi kritis terhadap dampak lingkungan, sosial, dan budaya yang telah dan akan ditimbulkan. Tanpa itu, pemekaran hanya akan menjadi alat perampasan yang dilegalkan oleh negara.

Mempertanyakan Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan

Pertanyaan yang harus terus kita ajukan adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pemekaran? Jika jawabannya bukan rakyat, bukan masyarakat adat, bukan kelestarian lingkungan, maka pemekaran bukanlah solusi, melainkan masalah baru.

Sebaliknya, masyarakat adat seperti kami di Mapiha justru tersingkir. Kami menjadi korban dari kebijakan yang tidak kami minta dan tidak kami setujui.

Karena itu, saya menyerukan kepada seluruh masyarakat Mapiha, terutama generasi muda, untuk bersatu menjaga tanah, hutan, dan budaya kita. Kita harus bersuara lebih lantang, menolak segala bentuk pemekaran yang tidak berpihak kepada kehidupan. Mapiha bukan komoditas. Mapiha adalah warisan, identitas, dan masa depan yang tidak bisa dibeli atau dibagi-bagi. (*)

Penulis adalah Anak muda Mapiha yang peduli akan Alam manusia. (*)

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE ยป