Jayapura, Anggrekpapua – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menggelar jumpa pers di kantor mereka, Abepura, Jayapura, Senin (07/04/2025), menyikapi persoalan yang belum terselesaikan antara PT Freeport Indonesia dengan 8.300 buruh yang melakukan mogok kerja sejak 1 Mei 2017.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobai, menyatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia, baik pusat maupun daerah, serta Komnas HAM RI, telah gagal mendorong PT Freeport Indonesia untuk memenuhi hak-hak dasar ribuan buruh dan masyarakat adat Papua sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Bisnis dan HAM, serta Standar Norma dan Pengaturan No. 13 Tahun 2023.
Gobai menyinggung sejarah panjang kehadiran Freeport di Papua yang dimulai dari penandatanganan Kontrak Karya I pada 7 April 1967. Kontrak ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia saat Papua masih berstatus status quo di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pasca New York Agreement 1962.
“Penandatanganan kontrak dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat Amungme sebagai pemilik sah wilayah dan sumber daya yang kini dieksploitasi. Pelanggaran ini terus berulang dalam Kontrak Karya II pada 1991 dan perubahan kontrak pada 2017,” tegas Gobai.
LBH Papua juga mengungkap temuan Inspektorat Provinsi Papua yang menunjukkan adanya gratifikasi kepada sejumlah pejabat di Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika dari pihak PT Freeport Indonesia. Gratifikasi tersebut diduga sebagai upaya pembungkaman atas laporan mogok kerja buruh Freeport yang sudah berlangsung selama hampir delapan tahun.
“Ini bukti bahwa negara lebih berpihak pada korporasi asing daripada melindungi rakyat dan buruhnya,” kata Gobai.
Ironisnya, lanjut Gobai, pada 17 Maret 2025, dalam peresmian pabrik emas Freeport di Gresik, Presiden Prabowo Subianto justru menyampaikan apresiasinya kepada Freeport-McMoRan yang telah beroperasi selama 58 tahun di Indonesia.
“Presiden mengucapkan terima kasih atas kontribusi Freeport terhadap perekonomian nasional, tanpa menyebutkan satu pun soal pelanggaran hak buruh dan pengabaian terhadap masyarakat adat Papua,” kata Gobai.
Tuntutan LBH Papua
1. Sebagai kuasa hukum resmi bagi 8.300 buruh mogok kerja PT Freeport Indonesia, LBH Papua menyampaikan lima poin tuntutan:
2. Presiden Republik Indonesia segera menyelesaikan konflik antara manajemen Freeport dan para buruh, serta mendesak penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat Papua.
4. Menteri Hukum dan HAM segera memastikan implementasi Perpres No. 60 Tahun 2023 terkait tanggung jawab korporasi terhadap HAM.
5. Menteri Ketenagakerjaan memfasilitasi ruang perundingan antara manajemen Freeport dan para buruh yang telah mogok kerja.
6. Manajemen PT Freeport Indonesia segera membayarkan upah dan mempekerjakan kembali 8.300 buruh mogok, serta memenuhi hak masyarakat adat Papua.
7. Ketua Komnas HAM RI bertindak aktif memastikan penyelesaian konflik ini dan menegakkan prinsip-prinsip HAM dalam konteks bisnis sebagaimana diatur oleh peraturan yang berlaku.
Gobai menegaskan bahwa pengabaian terhadap hak-hak buruh dan masyarakat adat selama 58 tahun adalah bukti bahwa negara belum serius menempatkan HAM di atas ke pentingan modal dan investasi asing. (*)
Penulis Hubertus Gobai