30.1 C
Special Region of Papua
Minggu, Desember 22, 2024

Karlin di Walesi

BACA JUGA

Surat untukmu, gadisku.

Karlin, setelah kepergianmu, disini, hari-hariku tak bahagia lagi. Akhir musim kemarau, ikan-ikan berenang ramai berseliweran di sepanjang arus kali Erega seperti biasanya.

Kala itu, di setiap hari Sabtu, aku ingat canda tawa di atas perahu milik Sekolah. Ingat tentangmu adalah bagian dari keikhlasanku. Seperti tahun lalu, setiap kenangan kita menjadi satu rangkaian dari ribuan kisah di atas danau Yamor sampai sepanjang Erega, kali yang kita puja itu. Tak tahu, entah mengapa, puing-puing rindu hadir tanpa mengerti patahnya hatiku yang mulai rapuh karena tikaman kuasa perpisahan.

Mengingatmu seakan goreskan luka lama. Aku sangat benci, benci pada benih-benih cinta kita dibangun atas dasar sebagai guru. Di setiap tidurku, wajah oval dan senyuman tipis-tipismu datang bersama pedang asmara. Berdosa diriku yang malang ini, mengapa mimpiku tetap memihakmu, ia tak antarkan tentangmu. Aku memang tak kuasa, melupakanmu bagai meredakan gulungan ombak Yamor yang kadang kasar juga kadang teduh. Menurut Warga Etahima, jika gelombang ombak menjadi-jadi maka hujan berkat bagi mereka akan turun dari pegunungan Gemou. Tapi, Karlin, kau bukanlah berkat dari Tuhan untukku. Tuhan titipkan padaku agar membebani pikiranku.

***

Karlin, beberapa hari belakangan ini, aku duduk membisu di jembatan pelabuhan Erega. Pepohonan Sagu itu masih berdiri membisu mekar sekitarku. Aku tak kuasa bicara padanya dengan bahasaku. Ia berbicara dengan bahasanya sendiri yang tak satupun aku mengerti.

Andai saja, disini bukan diriku yang dihina, tentu, burung-burung pun beterbangan menghiasi Erega. Tapi lembah Erega hanya terhias dengan ilalang lambaikan dedaunan.

Seluruh kisah kita masih tersimpan di halaman Sekolah Dasar Negeri Inpres Erega. Kala itu, kita menjadi guru sambil rajut tirai-tirai cinta kita. Rambut hitam keriting berombak itu masih saja kuingat. Dari kecantikanmu yang ramping mempesona, terkadang orang lain mengira gadis asli Erega. Tapi salah, kau gadisku dibaptis dengan air sungai Mapia, Bomomani di ujung timur kaki pegunungan Wayland. Perempuan Mee, Hagamo.

Dulu, saat kita bermain gitar, aku selalu belai rambutmu. Suaramu bagai simponi ratu Nabima. Dari mulutmu yang benci dengan goresan lipstic itu, kau nyayikan seperti Vani Vebiola, merdu membuat pendengar ikut berirama.

Aku tahu, Karlin, kau pernah banyak bicara di ruang kelas satu, lima dan kelas enam pada setiap jam pelajaran Sastra Indonesia. Anak-anak masih ingin dengar puisimu dari depan kelas, kau baca dengan gayamu sendiri. Ahk, kemana kau pergi? Puisi-puisimu itu masih utuh disini, dalam buku harianmu yang entah kau tinggalkan di atas mejaku di ruang guru. Entah caramu, buku itu menjadi tanda pengingat atau kau biarkan sebagai penanda kebencianmu padaku.

Adik Kori Mariampi dan Leny selalu kunjungi perumahan guru. Setiap hari mereka datang, anak-anak lain juga kadang datang mencarimu.

โ€œGuru Kang, selama ini kang sendiri? Ibu guru Karlin dimana? Akhir-akhir ini, kenapa dia tidak kunjung datang lagi?โ€ Kalimat ini selalu kudengar disini.

Hari itu. Tak tahu, hari apa, rumahmu sudah kuasai sepi. Pintu coklat itu tak kunjung buka seperti biasanya. Tertutup, seperti kala itu, tutup pintumu dan kau tidur usai mengajar di Sekolah, kemudian kau memanggilku untuk makan siang.

Pak Martin dan mama Maria juga tak kunjungi lagi, mereka tidak lagi bawakan ikan dan sagu untukmu. Mereka masih menetap di kampungnya, Urubika. Kabar orang, tiga bulan yang lalu, mereka ke kampung Omba Pamuku, kampungnya mama Maria. Mereka bangun rumah disana.

Karlin, aku masih memilih mengajar disini, tinggal di perumahanku, rumah pertama setelah perumahan, tengah kampung Erega, kaki gunung Marariampi, ujung barat kaki pegunungan Weyland, tanah leluhur Nipoto. Sudah tiga tahun hidup seorang diri. Aku ikhlaskan diri menyongsong bulan Desember. Kau pasti tahu, ini hal baru bagiku. Hari-hariku tak bahagia kala itu. Kini, hanya aku dan anak-anak murid di Sekolah, setiap hari. Kami akan rayakan Natal Sekolah. Kepala Sekolah masih di Kaimana. Ajaranku mulai tak tentu arah, terkadang anak-anak itu nakal, kadang pintar, kadang ku benci, tapi kadang merekalah membuat suasana ramai dan bahagia. Mereka memintaku ajak cerita berulang-ulang soal hubungan kita.

Aku merasa menyempit antara harus ingat kau atau menjalankan tugasku sebagai guru.

Karlin, jangan lupa ceritakan gulungan keluhanmu pada Surgamu disana, ceritakan juga tentang tanah leluhurmu yang kini tenggelam dalam medan rebutan para anak-anak raksasa Amerika. Ceritakan juga potongan doamu yang tiap malam kau lantunkan pada Tuhan. Ketika pagi, kau teriak lebih keras seperti dulu dikala kabut tebal ngintip bagai kapas yang walau menjadi butir-butir hujan Erega. Biarkan suaramu terbawa oleh gelombang angin Habema ke puncak pegunungan Jayawijaya. Suaramu adalah senjata, ketika kau nyanyikan, rerumputan ikut bernyanyi dan burung-burung ikut meniru suaramu, mereka ikut sampaikan pesanmu pada Tuhan.

Aku tahu, jiwamu adalah potongan doa dan nyanyian pujian kerinduan.

Agar setiap tenagamu dan keringatmu, setiap putus asa dan lelahmu, setiap kerinduanmu dan harapanmu diberkati Tuhan, didiklah anak-anak dengan baik. Harapan dan masa depannya hanya ada padamu. Kau seorang guru, kau bukan penagih pajak, jadi jangan kau bebani mereka. Mereka tak tahu soal dunia, mereka tak tahu ekonomi global, mereka tak tahu setiap persoalan di Papua, apalagi dunia. Mungkin mereka tahu hanya tentang ibu Pertiwi. Mereka tahu lagu Indonesia Raya, mereka tahu Bung Karno. Jangan lupa ajarkan tentang tanah dan sejarah kita, jangan lupa ajarkan kebebasan ekspresi, harus ajarkan lagu โ€œHai Tanahku Papua.โ€ Jangan lupa beritahu bendera kita. Merekalah pemilik tanah dan bangsa ini.

Untukmu, kenyataan ini bukan bersandiwara. Kini hubungan kita andalkan suratan. Surat sebagai lepas rindu.

Semoga kau sukses pada tempat tugas barumu, jiwaku, pemilik senyuman manis yang kini menjadi guru andalan di Walesi.

Aku tunggu surat balasanmu.

Catatan Bahasa Melayu Papua;

Hagamo; Sebutan Perempuan, (bahasa daerah Mee, Papua).

Karlin di Walesi adalah satu dari lima belas cerpen yang telah tulis oleh Sesilius Kegou dalam Buku persiapan terbit dengan judul โ€œTetesan Pilu dari Bulaโ€.

)*Penulis adalah Penulis lepas yang kini tinggal di Nabire sebagai Pengelola Para-Para Buku Kang Uwigou.

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE ยป