23.3 C
Special Region of Papua
Minggu, Juli 27, 2025

Jejak Hati yang Terluka: Monsi di Tengah Cinta, Duka, dan Pengkhianatan

BACA JUGA

Masa lalu yang koe banggakan itu, sekrang sa mo tanya apa boleh sa pergi? “Bangsat”

“Nona Sa cuma mau tahu satu hal, kamu banggakan apa dari masa lalu itu? Orang yang kamu kejar-kejar diam-diam, yang kamu sembunyikan dariku? Apa dia lebih baik dari sa, ? Lebih layak dicintai? Kalau iya, katakan saja sekarang. Biar sa pergi tanpa harus memikul rasa sakit yang lebih besar dari ini.” Monsi menatap pacarnya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan amarah yang bercampur dengan kepedihan.

Monsi mencintai dengan cara yang berbeda, cara yang tidak banyak orang mengerti. Baginya, cinta bukanlah sekadar kata-kata manis, bukan pula janji-janji yang gampang terucap. Cinta adalah pengorbanan, sebuah perjalanan panjang yang mengubah dirinya menjadi lebih besar, lebih kuat. Wanita yang ia cintai adalah segalanya seperti Gunung Jayawijaya yang kokoh dan abadi, seperti Monumen Nasional yang menjulang tinggi ke langit, begitu dalam dan tak tergoyahkan. Cinta untuk wanita itu lebih tinggi dari puncak gunung, lebih luas dari samudra.

Setiap detik yang ia habiskan bersamanya terasa seperti sebuah perjalanan menuju langit. Namun, terkadang cinta itu terasa seperti bayang-bayang yang datang menyapa. Kadang, ia mendengar suara wanita itu mengetuk pintu kamar kostnya, memanggil namanya dengan lembut.

Namun, ketika ia membuka mata, ternyata itu hanya sebuah mimpi, hanya sebuah bayangan yang tak pernah menjadi nyata. Mimpi itu datang berkali-kali, menghampirinya dalam setiap malam yang sunyi.

Awalnya, hubungan mereka dimulai seperti hubungan muda pada umumnya—melalui pesan-pesan Instagram yang ringan, penuh tawa, dan obrolan kecil. Namun seiring berjalannya waktu, percakapan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih dalam.

Monsi yang sebelumnya tidak pernah berpacaran setelah diputuskan oleh mantan kekasihnya tiga tahun lalu, merasa seolah-olah menemukan kebahagiaan baru. Cinta itu hadir dalam bentuk seorang wanita yang sederhana, namun memiliki segalanya yang ia butuhkan. Di matanya, wanita itu adalah pelengkap hidup.

“Kau adalah bagian dari takdirku. Tanpamu, sa merasa seperti berjalan tanpa arah,” katanya suatu malam, ketika mereka sedang berbicara lewat telepon. Setiap kata itu keluar dengan tulus dari hatinya.

Baginya, wanita itu adalah tujuan hidupnya. Ia ingin bersama wanita itu untuk selamanya, untuk membangun hidup bersama, untuk mencapai mimpi-mimpi yang selama ini hanya ada dalam angan-angannya. Setiap hari ia merasa lebih bersemangat, lebih hidup.

Dalam dirinya yang sederhana, ada seorang pria penuh harapan. Harapan untuk membuat orang tuanya bangga, untuk menunjukkan pada mereka bahwa perjuangannya bukanlah hal yang sia-sia.

Monsi adalah seorang mahasiswa di Universitas Cenderawasih, semester 6, jurusan Akuntansi. Ia memandang masa depan dengan penuh harapan.

 

Ia ingin orang tuanya bisa melihatnya memakai toga, berdiri dengan bangga di depan mereka, memberi mereka kebahagiaan yang pantas mereka dapatkan setelah bertahun-tahun berjuang. Ia berharap bisa menyelesaikan kuliahnya sebelum orang tuanya dipanggil Tuhan. Ia ingin orang tuanya tetap ada bersamanya, untuk melihatnya menikah, untuk melihat anak-anak mereka tumbuh.

Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Pada Agustus 2024, di tengah persiapan Kuliah Kerja Nyata (KKN), kabar buruk datang. Ayahnya, sosok yang selalu menjadi pilar keluarga, tiba-tiba jatuh sakit. Sebuah panggilan telepon dari ayahnya membuat seluruh dunia Monsi terasa berhenti. Di sepanjang enam tahun perantauannya, ini adalah satu-satunya telepon yang ia terima dari sang ayah.

“Anak, berapa uang yang kamu butuhkan untuk KKN?” suara ayahnya terdengar lemah namun penuh perhatian.

Monsi terdiam. Hatinya bergejolak, namun ia berusaha tetap tenang. “Sudah cukup, Bapak. Kalau ada kekurangan, nanti saya telepon Bapak lagi.”

“Oke, semangat ya untuk KKN-nya. Kalau ada apa-apa, telepon Bapak ya,” suara ayahnya yang penuh kasih itu mengalir di telinganya.

Setelah percakapan itu, hati Monsi terasa berat. Tak lama kemudian, kabar dari kakaknya datang. Ia diberitahu bahwa kakaknya telah menyiapkan uang untuk KKN dengan hasil pinjaman dan tabungan keluarga. Uang itu cukup untuk membuatnya melanjutkan KKN di Kampung Jaifuri, Kabupaten Keerom. Meskipun dalam kesederhanaan, keluarga selalu ada untuknya.

Namun, di balik perjalanan akademik itu, datanglah ujian hidup yang lebih besar. Beberapa minggu setelah KKN dimulai, kakaknya datang dengan kabar buruk yang mengiris hati. Ayahnya semakin parah. Dalam tangisnya, kakaknya mengirimkan pesan terakhir dari ayahnya, yang membuat dada Monsi terasa sesak.

“Ayah berpesan, jika kamu lulus nanti, uang wisuda ini sudah disiapkan. Berikan pada kakakmu untuk wisuda,” pesan itu datang dengan penuh cinta, tetapi juga kesedihan yang mendalam.

Monsi terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Hanya air mata yang jatuh, membasahi pipinya, sementara hatinya tercabik-cabik. Ia tahu, waktu bersama ayahnya sudah sangat terbatas.

Dan benar saja, pada bulan Oktober, setelah berjuang melawan penyakit, ayahnya akhirnya berpulang. Monsi segera pulang ke kampung untuk melihat ayahnya untuk terakhir kali. Saat itu, dengan suara yang bergetar, ia berkata, “Bapa, bapa sakit sekali ya. Saya di sini, bapa jangan khawatir.”

Ayahnya hanya menatapnya dengan mata yang sayu dan menggenggam tangan Monsi erat. Dengan suara yang lirih, ayahnya berkata, “Anak, bapa sudah berusaha mencari nafkah untuk kalian, untuk masa depan kalian. Tapi bapa sudah tidak mampu lagi. Sekarang, kamu yang harus mencari jalan sendiri. Bapa tidak akan bisa lagi membantu kalian.”

Tiga hari setelah pertemuan terakhir itu, ayah Monsi meninggal dunia. Monsi memakamkan ayahnya di kampung halaman, di pinggiran rumah mereka. Ia merasa dunia runtuh, tetapi ia harus kuat. Ia harus menahan air mata dan melanjutkan hidup demi ibu dan saudara-saudaranya.

Setelah pemakaman selesai, Monsi kembali ke Jayapura, namun hatinya tetap terbelenggu dalam kesedihan. Kehilangan yang begitu besar membuat tubuhnya mulai melemah. Ia jatuh sakit, dan di tengah kondisi yang rapuh ini, pacarnya datang untuk merawatnya. Wanita itu yang selama ini menjadi tempat ia berbagi suka dan duka, kini menjadi sandaran.

Namun, saat ia meminjam ponsel pacarnya untuk bermain gim, sebuah kenyataan pahit terungkap. Pesan-pesan di dalam ponsel itu, percakapan antara pacarnya dan mantannya, membuat hatinya hancur berkeping-keping. Dalam pesan itu, pacarnya mengungkapkan bahwa ia belum sepenuhnya bisa move on dari masa lalunya.

“sa sa masih ingat dia,” pacarnya pernah berkata di pesan yang ditemukan oleh Monsi.

“Kalian pernah jalan bersama?” tanya Monsi dengan suara bergetar, menahan amarah dan rasa sakit.

“Iya… Kami pergi ke pantai,” jawab pacarnya dengan suara yang pelan.

Perasaan Monsi seperti terhimpit oleh batu besar. “Jika kamu masih mencintainya, kenapa kamu terima sa? Kenapa kamu gantung aku di antara kalian berdua?sa sudah bilang, kalau kamu belum bisa move on, lebih baik kembali padanya. Tapi sekarang, di saat sa sedang seperti ini, kau malah melukai aku!” kata-kata itu terlontar tanpa bisa ia tahan.

Nona Sa cuma mau tahu satu hal, kamu banggakan apa dari masa lalu itu? Orang yang kamu kejar-kejar diam-diam, yang kamu sembunyikan dariku? Apa dia lebih baik dari sa, ? Lebih layak dicintai? Kalau iya, katakan saja sekarang. Biar sa pergi tanpa harus memikul rasa sakit yang lebih besar dari ini.” Monsi menatap pacarnya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan amarah yang bercampur dengan kepedihan.

“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan karena kamu masih pikirkan dia, bukan juga karena kamu pernah bertemu dengannya. Tapi karena kamu biarkan sa di sini, mencintaimu tanpa tahu sa ini cuma pilihan kedua. Jadi sekarang, sa mo tanya, apa da boleh pergi? Biar kamu bebas kejar apa yang kamu inginkan. Karena aku lelah jadi seseorang yang cuma numpang di hatimu.”

Dalam keadaan sakit, dengan hati yang hancur, Monsi meninggalkan kost pacarnya tanpa sepatah kata pun. Ia pergi ke asrama sahabatnya, mencoba mencari ketenangan di tengah gejolak perasaan yang tak terkendali.

Di malam yang hening, ia menulis di buku hariannya, “Ayah, sa rindu. Ayah kenapa sap hati ni sakit, bersamaan dengan kepergian mu Ayah? Kau selalu mengajarkan sa untuk tegar, dan sekarang sa berusaha melakukannya. Tapi luka ini terlalu dalam. sa hanya berharap, suatu hari nanti, sa bisa menemukan seseorang yang mencintaiku tanpa ragu, seperti cinta yang kau berikan padaku.”

Monsi tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Luka ini mungkin akan sembuh seiring berjalannya waktu, tetapi ia takkan pernah lupa pada dua cinta sejati yang telah mengajarkannya arti pengorbanan dan kekuatan—ayahnya dan wanita yang telah ia cintai. Ia berjanji, meski cobaan begitu berat, ia takkan menyerah. Ia akan terus melangkah, membawa kenangan dan cinta ayahnya, serta harapan untuk menemukan kebahagiaan sejati di masa depan.

By Monsi wolf

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE »