DOGIYAI, ANGGREKPAPUA.COM – Intelektual asal tanah Papua, Apner Semu, mengungkapkan protes keras terhadap tindakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengajar anak-anak sekolah di salah satu sekolah di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah dengan membawa senjata api.
Tindakan tersebut menuai kritik tajam, terutama terkait dengan keselamatan dan kenyamanan siswa yang terganggu oleh kehadiran senjata api di lingkungan sekolah.
“Pendidikan seharusnya memberikan rasa aman, bukan ketakutan. Kehadiran senjata api di ruang kelas jelas tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.”
Menurut keterangan yang disampaikan Apner kepada AnggrekPapua.com pada Minggu, 30 Maret 2025, kejadian ini memicu kontroversi dan menambah ketegangan di Puncak Jaya.
Seorang anggota TNI yang dikenal sebagai Babinsa, bersama tiga anggotanya, terlihat mengajar di sekolah sambil membawa senjata api. Aksi ini menimbulkan rasa takut dan tidak nyaman bagi siswa-siswi yang terlibat dalam proses belajar mengajar.
“Tidak ada alasan untuk membawa senjata api di dalam kelas. Ini jelas tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya menanamkan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak,” ujar Apner.
Dalam video yang beredar, terlihat jelas anggota TNI bersama senjata api di ruang kelas, yang tentunya membuat siswa merasa cemas dan terancam. Protes pun datang dari berbagai pihak, salah satunya seorang pemuda Papua Tengah yang mengatakan, “Kami, untuk Papua Tengah, memprotes kejadian ini dan meminta Pemerintah Daerah untuk segera bertindak. Kami tidak setuju dengan kelakuan TNI yang mengganggu kenyamanan anak-anak sekolah dalam proses belajar mereka.”
“Kebijakan yang tidak tepat hanya akan merusak hubungan antara masyarakat dan aparat. Kami meminta tindakan tegas terhadap anggota TNI yang terlibat.”
Pemerintah setempat segera merespon dengan memanggil pimpinan TNI yang terlibat dalam insiden tersebut. Tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur ini akan diberikan sanksi tegas. Pemerintah daerah juga mengingatkan pentingnya meminta maaf kepada orang tua siswa dan berjanji untuk tidak mengulangi tindakan serupa di masa depan.
“Keamanan dan kenyamanan anak-anak dalam belajar adalah tanggung jawab kita semua. Pemerintah daerah harus memastikan kejadian ini tidak terulang lagi,” ujar salah satu pejabat setempat.
Pihak berwenang menilai bahwa kejadian tersebut tidak mencerminkan kebijakan dan prosedur TNI yang benar. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus melakukan investigasi dan mengambil tindakan yang tepat terhadap anggota TNI yang terlibat dalam insiden ini, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.
“Kita perlu menjaga keamanan mental dan emosional anak-anak di sekolah, terutama di daerah yang rawan konflik. Kejadian seperti ini justru mengancam masa depan generasi muda Papua,” tambah Apner.
Di sisi lain, aparat telah mulai memasuki gedung sekolah, seperti di SMA Ilu, Puncak Jaya, untuk mengajar paksa. Kepala sekolah berhak untuk menolak, karena mengingat pentingnya ketenangan psikologis bagi siswa-siswi. Ini menjadi perhatian penting bagi lembaga adat dan masyarakat, termasuk Majelis Rakyat Papua (MRP), Bupati, Wali Kota, serta DPRD yang segera diminta untuk menangani masalah ini secara serius.
“Keamanan psikologis anak-anak adalah hal yang utama. Negara harus memastikan bahwa pendidikan di Papua berjalan dengan aman, tanpa adanya ancaman atau ketakutan,” nya.
Seiring berjalannya waktu, kepercayaan masyarakat Papua terhadap aparat semakin menurun, terutama setelah tindakan-tindakan yang dinilai memaksa masyarakat. Di daerah yang rawan konflik, banyak yang berpendapat bahwa justru aparat yang melemahkan moral bangsa, sehingga langkah-langkah konkrit harus diambil untuk menjaga ketenangan dan keamanan di sekolah-sekolah, khususnya di daerah konflik.