Sorong, (Anggrekpapua) – Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Karya Kita Anak Budak (LBH Kaki Abu) menggelar diskusi publik bertema “Transmigrasi untuk Siapa?”. Kegiatan ini berlangsung di Aula SMU YPK II Maranatha, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, pada Sabtu (30/11/2024).
Direktur LBH Kaki Abu, Leonardus Ijie, S.H., menyatakan bahwa tema ini sangat relevan untuk dijawab, terutama oleh pemerintah pusat. Ia menyoroti bahwa program transmigrasi yang dicanangkan sejak tahun 1970-an hingga saat ini telah berdampak besar pada masyarakat Papua.
Leonardus menjelaskan bahwa dampak program transmigrasi terasa hingga hari ini, terutama di sektor ekonomi. “Daerah vital ekonomi di Papua kini banyak dikuasai oleh non-Papua. Hal ini memengaruhi komposisi mayoritas dan minoritas, yang menyebabkan masyarakat asli Papua terpinggirkan, termasuk dalam perwakilan legislatif,” ungkapnya.
Menurut Leonardus, transmigrasi membawa ancaman serius bagi kedaulatan politik, pangan, dan ekonomi masyarakat Papua. Ia mempertanyakan siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh program ini—masyarakat, rakyat sipil, ataukah kepentingan oligarki dan kapitalisme.
“Program transmigrasi sering kali melibatkan investasi besar-besaran yang dibarengi dengan kehadiran militer. Bagi kami, orang Papua, ini sangat mengganggu,” tegasnya.
Leonardus juga menyinggung sejarah kelam transmigrasi sebelumnya, yang menurutnya kerap disertai kekerasan, perampasan lahan, serta keterlibatan TNI dan Polri.
Dalam kesempatan yang sama, Susance Saflesa, S.Th., M.Si., Wakil I Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, menyatakan bahwa transmigrasi menjadi sumber keresahan masyarakat adat.
“Hutan dan lahan kami terancam. Transmigrasi sering kali menjadi pintu masuk bagi investasi besar-besaran yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat,” ujar Susance.
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat sering kali tidak diberi ruang untuk memahami atau menyetujui program transmigrasi.
“Ketika hutan habis, masyarakat adat kehilangan tempat hidup mereka. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan masyarakat adat di Papua,” katanya.
Susance juga menegaskan pentingnya sosialisasi yang melibatkan masyarakat adat sejak awal, agar dampak transmigrasi bisa diminimalkan. Menurutnya, Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga kultural memiliki tanggung jawab untuk memastikan program nasional seperti transmigrasi mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat adat.
Appul Heluka, panitia seminar diskusi publik, menyatakan bahwa diskusi ini merupakan langkah awal untuk melakukan konsolidasi lebih lanjut.
“Tujuan utama kami adalah menolak program transmigrasi di tanah Papua, karena program ini mengancam eksistensi masyarakat Papua. Kami membutuhkan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,” tegasnya.
Heluka menambahkan bahwa masyarakat Papua ingin diperlakukan setara dengan manusia lain di dunia.
“Kami berharap pemerintah mendengar dan memahami keresahan kami,” pungkasnya. (*)
Penulis: Eskop Wisabla