Kisah- Aku mengenalnya pertama kali di Facebook. Bukan karena ia populer atau sering menulis status panjang, melainkan ada sesuatu dalam senyumnya yang terpancar dari setiap foto.
Diam-diam aku mengikuti semua unggahannya status harian, foto, hingga live streaming-nya. Aku tak tahu kapan tepatnya, tapi perlahan aku merasa ingin lebih dari sekadar menjadi pengamat diam-diam.
Aku mengirimkan permintaan pertemanan pada suatu malam, dengan hati berdebar. Tak butuh waktu lama, notifikasi itu muncul:
“Permintaan pertemanan Anda telah diterima.”ย Rasanya seperti langkah kecil menuju dunia yang lebih dekat dengannya.
Awalnya, aku hanya memberi reaksi di setiap statusโemoji jempol, super love. Lalu, aku memberanikan diri mengirim pesan pertama: sebuah emoji jempol. Jawabannya sama, sederhana, namun cukup membuatku tersenyum. Itu adalah awal dari percakapan panjang kami.
Tahun-tahun berlalu. Dari 2017 saat aku masih kelas 1 SMK, aku terus mengikuti hidupnya. Kami belum pernah bertemu, tetapi setiap harinya aku semakin mengenalnya, bahkan mungkin lebih dari yang ia sadari. Hingga suatu hari, pertemuan itu akhirnya terjadi.
Pantai Hamadi, Oktober 2017
Hari itu ulang tahunku yang ke-17. Aku mengajak Amandus, temanku, untuk refreshing di Pantai Hamadi. Kami menaiki motor Jupiter merah, melaju melewati jalanan Jayapura hingga akhirnya tiba di tepi pantai. Di sana, aku tak sengaja melihatnya.
Ia bersama sekelompok orang, duduk di bawah pohon rindang. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya tidak melalui layar ponselku. Ada perasaan gugup yang tak bisa kujelaskan. Tatapan mataku bertemu dengannya. Ia tersenyum kecil, namun segera beralih, mungkin tak mengenaliku.
Malam itu aku tak bisa tidur. Wajahnya terus terbayang, membuatku gelisah. Keberanian muncul begitu saja, dan aku memutuskan untuk mengirim pesan kepadanya.
“Hai Kak, waktu itu kita sempat bertemu di Pantai Hamadi, itu Kakak atau bukan?”
Jawabannya cepat:
“Hallo Adik, benar itu Kakak. Jadi, waktu itu Adik datang dengan motor Jupiter, ya? Celana hitam dan baju biru itu Adik kan?” Aku tersenyum.
“Benar sekali Kak, itu aku. Kakak sendiri bagaimana kabarnya?”
Dari percakapan itu, hubungan kami semakin dekat. Hari-hari berlalu dengan obrolan di chat, video call, hingga akhirnya kami saling bertukar nomor telepon.
Cinta di Pantai Holtekamp
Waktu berlalu, dan hubungan kami tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Aku memanggilnya “Maga,” dan ia memanggilku “Ena.” Kami berbagi banyak hal, termasuk mimpi-mimpi sederhana, seperti mencari senja di Pantai Holtekamp.
Di sana, di tepi pantai dengan ombak yang tenang, kami sering berbicara tentang masa depan. Aku bercerita tentang kampung halamanku, Deneiode, tempat di mana ada air panas, kolam ikan yang kami sebut Gobiwo Kunu, dan udara dingin yang membuat siapa pun betah.
Ia tertidur di bahuku saat aku berbicara, wajahnya tenang seperti senja yang perlahan menghilang di balik Gunung Cyclop. Aku hanya bisa tersenyum, menjaga momen itu tetap abadi dalam ingatanku.
Harapan dan Perjuangan
Cinta kami tak selalu berjalan mulus. Ada banyak komentar miring dari orang-orang di sekitar, tapi aku tahu apa yang aku rasakan untuknya. Ia adalah seperti kampung halamanku selalu membuatku ingin kembali, tak pernah membuatku bosan.
Meskipun kadang hubungan ini terasa seperti senja indah namun singkat aku tetap berharap cinta ini bertahan. Bagiku, ia lebih dari sekadar pasangan. Ia adalah alasan mengapa aku ingin terus melangkah.
Penutup
Kini, setiap kali aku melihatnya, aku selalu teringat pada pertemuan pertama kami di Pantai Hamadi. Aku bersyukur, cinta kami tumbuh dari hal-hal sederhanaโdari sebuah emoji jempol, hingga janji-janji kecil di tepi pantai.
Ia mungkin tak tahu seberapa besar aku mencintainya, tapi bagiku, ia adalah senja yang tak pernah pudar.
Catatan ini adalah kisah di garis waktu,ย Tulisan ini dalam proses menulis, Saya akan kembali tampilkan tulisan ini dalam bentuk lain (*)ย Piyaiye Petege Gambarย