Mira Tigi kekasihku, maafkan aku. Malam ini aku harus menghayal. Hayalan untuk kali ini karena tentangmu datang lagi.
Aku ingat merdu suaramu ketika kau nyanyikan “oh holy night” pada tiap malam Natal. Suaramu bagai nyayian para Sorgawi. Aku terbuai. Kemudian seluruh tentangmu aku tuliskan dalam sepucuk surat ini agar kau datang lagi dalam mimpiku di malam 31 Desember.
Sekarang sudah dua minggu, aku menunggumu di kampung Dawai Kunu.
Oh ya, lalu, di malam Natal tanpa dirimu. Aku telah menunggumu, tapi kau tak juga datang. Kampung kecil disusun honai ini masih dipandang indah, terpesona, tapi bukan denganku, dari tatapan mereka saja. Aku masih terbenam dalam-dalam pada bayang budi baikmu itu.
Mira, kau tahu, lereng gunung Kobouge sana, sejumlah kawanan Merpati selalu beterbangan. Seperti dulu, kala itu kau suka melihatnya. Moment itu tersarang di sanubariku. Deretan kenangan kita pun tersimpan rapi disini.
Aku ingat semua. Ingat tiap kenangan sebelum jalan trans masuk di kampung kita. Kampung kecil permadani dengan ilalang sekitar bibir jalan raya itu kaya dengan kacang tanah, kaya juga dengan wortel, ubi jalar sampai beraneka tanaman milik warga tani. Tapi kau tahu toh, kini sebagian tidak bercocok tanam lagi, entahlah…
Jelas bahwa tanam dan panen sudah menjadi kebiasaan masyarakat Mapia, termasuk ibumu yang tua itu. Ia sudah lanjut usia. Kemarin dia antar kacang di rumah. Ibumu menangis ketika melihat baju hitammu tergambar bendera pusaka kita, bintang kejora di tali jemuran. Dia peluk-peluk baju itu. Bagaimana tidak, kehilangan putrinya, sama saja kehilangan sebagian dari tubuhnya. Aku ikut menangis.
Oh iya, kebun kedua kita di sebelah kali Mapia itu ditumbuhi rerumputan hingga kuasai semak duri. Setelah kepergianmu, aku tidak pernah lagi kesana.
Jujur, Mira, soal beternak dan berkebun sudah dikuburkan. Aku habiskan waktu di rumah dengan dengan Neoli, anjing kecilmu itu. Mana ada tentangmu, seluruhnya telah kau bawa pergi dengan kematianmu.
Mira, walau kau sudah kembali menjadi tanah, kebaikanmu masih menjadi dasar hidupku, bahwa cukupkan diri kita dari hasil keringat, sama dengan kehidupan bangsa kita; emas kita dan perak kita diambil bangsa lain, kita hanya jual hasil kebun untuk cukupi kebutuhan keluarga. Kita ditelantarkan di antara kekayaan alam kita dan para pemodal. Besok-besok gunung Wayland jadi sasaran.
Ahk, lupakan. Mereka adalah bangsa tak ada rasa kasihan.
Oh iya, satu lagi, akhir-akhir ini, orang-orang di Bomomani bertanya-tanya tentangmu. Maria Tigi, temanmu itu juga cerita soal kematianmu. Tapi kadang aku berpura-pura tak dengar karena pelit kepergianmu. Aku mau kau ada disini bersamaku.
Mira, kekasihku, besok, malam tahun baru, jadi sore ini aku datang ke gereja. Halaman gereja katolik Maria Menerima Kabar Gembira terlihat bersih. Menara gereja juga masih berdiri gagah. Bunga yang kau tanam di sebelah menara itu sudah berbunga. Di pastoran sana, ramai orang. Aku ingat, saat itu, kita beri seikat sayur dan kacang untuk suster Sera. Itu adalah hasil panen kebun pertama setelah kita nikah di gereja ini. Kau bilang, “agar hasil tanaman kita diberkati Tuhan, maka panen pertama harus berikan pastor atau suster di gereja. Kalau tidak, harus berikan pada anak yatim atau piatu.”
Mira, sore ini aku datang seorang diri, seharusnya, kita sama-sama kesini. Motor Beat biru ini hanya aku, tanpa sayur dan kacang. Mira, aku tidak bisa. Dimana dirimu dan kata-katamu itu. Ingin kudengar lagi.
Tadi, pastor Ferdinand datang ke sini. Pastor tanya tentangmu. Aku bilang, “dia di rumah. Sedang kerja kebun. Dia baik-baik saja.” Maafkan aku. Aku harus menyangkal dirimu yang terbaring di alam sana. Semoga kau tenang dan bahagia.
Oh, iya… umat katolik Bomomani datangi gereja. Mereka membawa bekal, tapi aku seorang diri. Hanya kukenakan baju kerjaku yang mulai sobek dan lumuri kotor. Dengan baju pemberianmu itu, aku anggap, kita sama-sama kesini. Bahagia. Senyumanmu itu datang lagi. Aku rasakan. Aku jadi lelaki kuat di antara umat katolik yang sedang bahagia dengan sanak saudaranya.
Mira, rumah kecil kita itu sudah kuasai sunyi sejak nirwana menjemputmu.
Aku tak tahu aksi saat kematianmu, bukan karena benci padamu. Tapi kasihan melihat matamu tutup yang terakhir kali. Jadi sengaja aku keluar rumah, agar dengan tenang, kau menghadap Tuhan. Karena itu, Mira sayang, jangan membebani suamimu dengan kebaikanmu. Kau adalah Malaikatku setelah ibuku.
Banyak orang bertanya tentangmu. Ibu pembina OMK juga tanya. Semua orang bertanya-tanya. Aku diam dibalik semua. Harus bilang apa pada mereka. Ketika aku jujur, mereka akan sedih. Jika aku menyangkal, aku berdosa. Mira, beri aku jawaban.
Sekarang, aku mau balik ke rumah. Ke Dawai Kunu. Walau tanpamu, aku akan menyalakan lilin kecil kita dekat tungku api, sebelah yang biasa kau duduk bila membakar ubi jalar sebagai santapan malam. Tapi, untuk lilin kecil kali ini hanya untukmu.
Aku ingat, kau perempuan dewasa, kuat. Tapi kau tak kuat melawan malaikat maut. Aku menyadari bahwa kematian dan tentang Sorga adalah rahasia Tuhan. Aku mencintaimu. Tunggu aku di Surga, kita akan bahagia disana sambil memandang ketidakadilan di tanah Papua.
Lilin Kecil Untuk Mira adalah satu dari lima belas cerpen yang telah tulis oleh Sesilius Kegou dalam Buku persiapan terbit dengan judul “Tetesan Pilu dari Bula”.
|*Penulis adalah Penulis lepas yang kini tinggal di Nabire sebagai Pengelola Para-Para Buku Kang Uwigou.