23.6 C
Special Region of Papua
Minggu, Desember 22, 2024

Berpikir Bijaksana Untuk Papua

BACA JUGA

OLEH ERNEST PUGIYE

Bagaimana mungkin hutan adat di Merauke, Papua Selatan, dihancurkan demi proyek pembangunan? Bukankah hutan adat merupakan jantung kehidupan bagi masyarakat adat, tempat mereka mencari nafkah dan menjalankan ritual spiritual? Bagaimana mungkin ruang hidup dan ruang sakralitas di Nemangkawi, Timika Papua Tengah, dialienasi oleh perusahaan tambang? Bukankah tanah dan alam merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dihormati? Bagaimana mungkin masyarakat adat di Sorong harus mengungsi dan kehilangan nyawa akibat ketidakadilan pembangunan? Bukankah mereka memiliki hak atas tanah adat dan hak untuk hidup dengan damai?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah kita untuk merenungkan cara berpikir yang mendasari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat adat Papua. Ada yang salah dengan cara berpikir yang hanya melihat keuntungan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya, spiritual, dan hak asasi manusia. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa kita perlu menerapkan pola berpikir kritis, analitis, teknis, dan reflektif dalam setiap kebijakan yang menyangkut Papua.

Penerapan Pola Berpikir Bijaksana

Berpikir kritis dalam konteks Papua berarti mempertanyakan setiap kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat adat. Kita perlu meneliti dampak jangka panjang dari proyek pembangunan, bukan hanya keuntungan jangka pendek. Berpikir analitis berarti memecah masalah kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana. Kita perlu memahami akar permasalahan, seperti konflik tanah, eksploitasi sumber daya alam, dan ketidakadilan sosial, untuk menemukan solusi yang tepat.

Berpikir teknis berarti mencari solusi praktis dan berkelanjutan. Kita perlu mengembangkan model pembangunan yang ramah lingkungan, yang melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, dan yang memberikan manfaat bagi semua pihak. Berpikir reflektif berarti meninjau ulang setiap tindakan dan kebijakan yang telah diambil. Kita perlu mengevaluasi dampak dari kebijakan pembangunan, dan belajar dari kesalahan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi Papua. Prinsip “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada) dari Rene Descartes relevan di sini; kita harus merenungkan tindakan kita dan dampaknya terhadap kehidupan orang lain.

Mewujudkan Keadilan dan Kemakmuran

Penerapan keempat pola berpikir ini akan membawa kita menuju masa depan Papua yang lebih adil dan berkelanjutan. Masyarakat adat akan mendapatkan hak-hak mereka, dan alam akan dijaga dan dilestarikan.

Pembangunan akan berfokus pada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya keuntungan ekonomi. Papua akan menjadi contoh bagi dunia dalam hal keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan harmoni budaya.

Kita harus berani mengubah cara berpikir kita. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam pola pikir yang hanya melihat keuntungan jangka pendek dan mengabaikan nilai-nilai luhur. Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan membangun masa depan Papua yang lebih baik.

Jika kita sudah menerapkan keempat pola pikir ini, kasus eksploitasi hutan adat, alienasi ruang hidup, dan pengungsian akibat pembangunan tidak akan terulang lagi. Masyarakat adat Papua akan hidup dengan damai dan sejahtera di tanah leluhur mereka. Papua akan menjadi contoh bagi dunia dalam hal keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan harmoni budaya.

Sudah waktunya kita menggunakan pola berpikir kritis, analitis, teknis, dan reflektif di dalam semua aspek kehidupan yang ada di Papua. Sudah waktunya. Tak bisa lagi ditunda.

Penulis adalah Alumni pada STFT ‘Fajar Timur” Jayapura.

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE ยป