Nabire Anggrek Papua – Kampung Apouwo, sebuah kampung tua yang terletak di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, selama puluhan tahun dikenal sebagai wilayah yang damai dan kaya akan tradisi budaya. Dihuni oleh marga-marga seperti Makai, Kegou, Gobai, Degei, dan Magai, kampung ini mengandalkan hasil bumi sebagai tumpuan hidup sehari-hari. Namun, ketenangan itu terguncang sejak 27 Juni 2025 lalu, saat bencana alam berupa longsor melanda kebun-kebun warga, memicu krisis pangan yang nyaris luput dari perhatian.
Kampung Apouwo dan Kehidupan Berbasis Alam
Kampung Apouwo termasuk salah satu kampung tertua di Kabupaten Dogiyai. Wilayah ini terdiri dari perbukitan dan hutan lebat yang menjadi sumber kehidupan masyarakatnya. Warga bergantung pada kebun yang ditanami ubi, keladi, jagung, dan berbagai tanaman pangan lokal sebagai sumber makanan dan penghidupan utama.
Soleman Makai, seorang warga sekaligus tokoh masyarakat di Apouwo, menjelaskan bahwa komunitas mereka hidup sangat bergantung pada hasil kebun. “Kebun kami adalah sumber utama pangan sehari-hari. Tanaman seperti ubi dan keladi adalah makanan pokok kami, selain juga sebagai bahan baku untuk berbagai kebutuhan,” ujarnya ketika dihubungi pada 20 Agustus 2025.
Namun, pola hidup yang erat dengan alam ini juga rentan terhadap perubahan cuaca dan bencana alam. Pada pertengahan tahun 2025, perubahan iklim mulai terasa lebih ekstrem, dan pada malam 27 Juni, hujan deras disertai angin kencang serta petir mengguyur wilayah Kampung Apogomakida, distrik yang berbatasan dekat dengan Apouwo.
Malam yang Mengubah Segalanya
Hujan yang terus menerus selama berjam-jam membuat tanah tak mampu menahan beban air. Longsor pun terjadi, menghantam sekitar 30 kebun milik warga yang sudah siap panen. Tanaman ubi, keladi, dan sayuran lainnya yang sudah berbulan-bulan dirawat lenyap dalam sekejap.
“Saat itu tanah bergeser dan membawa semua tanaman kami. Apa yang kami harapkan selama ini hancur dalam satu malam,” tutur Soleman dengan nada pilu. “Ini bukan hanya kehilangan tanaman, tapi juga kehilangan masa depan kami.”
Tak hanya kebun, beberapa bagian jalan kecil yang menghubungkan kampung juga rusak parah akibat longsor, menyulitkan akses warga untuk mendapatkan bantuan atau mengangkut hasil panen yang tersisa.
Krisis Pangan yang Sunyi
Kejadian longsor ini sebenarnya sudah berlangsung sejak Juni, tetapi kabar mengenai dampaknya baru sampai ke luar wilayah beberapa bulan kemudian. Keterbatasan akses internet dan jaringan telekomunikasi di daerah itu menjadi kendala utama bagi warga untuk melaporkan kondisi mereka ke pemerintah atau media.
“Tanpa internet, kami tidak bisa langsung memberitakan ini. Baru sekarang kami bisa sampaikan kondisi sebenarnya,” kata Soleman melalui pesan elektronik. Ia berharap perhatian pemerintah segera datang untuk membantu mengatasi krisis pangan lokal yang kini melanda kampung mereka.
Warga kini menghadapi tantangan besar, yaitu bagaimana bertahan hidup ketika sumber pangan utama mereka lenyap. Beberapa keluarga mulai mengurangi porsi makan dan mengandalkan bantuan dari sesama warga yang masih memiliki hasil kebun.
Harapan dan Tuntutan Warga
Masyarakat Kampung Apouwo menaruh harapan besar kepada Pemerintah Kabupaten Dogiyai dan Pemerintah Provinsi Papua Tengah untuk segera turun tangan. Mereka membutuhkan bantuan berupa bibit tanaman, pupuk, dan alat pertanian agar kebun yang longsor bisa segera direhabilitasi dan ditanami kembali.
“Kami percaya pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia, yang akan membantu kami di saat sulit ini,” ujar Soleman penuh keyakinan.
Namun, harapan itu juga disertai kekhawatiran. Selama ini, daerah-daerah terpencil seperti Apouwo seringkali terabaikan dan minim akses layanan publik. Dengan kondisi geografis yang menantang dan keterbatasan infrastruktur, bantuan pemerintah kerap datang terlambat atau bahkan tidak tepat sasaran.
Tantangan Geografis dan Infrastruktur
Kabupaten Dogiyai memang dikenal sebagai daerah yang memiliki topografi perbukitan dan hutan lebat, yang menjadi keindahan sekaligus hambatan pembangunan infrastruktur. Jalan-jalan penghubung seringkali dalam kondisi rusak dan sulit dilewati, terutama saat musim hujan.
Hal ini menyulitkan distribusi bantuan dan penanganan bencana secara cepat dan efektif. Selain itu, jaringan komunikasi yang masih minim membuat koordinasi dan pelaporan kondisi darurat tidak berjalan optimal.
Seorang aktivis sosial dari Papua Tengah, Maria Ginting, mengatakan bahwa kondisi seperti yang dialami Kampung Apouwo ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat luas. “Kita tidak boleh hanya diam melihat warga terancam kelaparan karena bencana alam dan keterbatasan akses,” ujarnya.
Menggugah Kesadaran dan Solidaritas
Kisah Kampung Apouwo menjadi cermin bagi pentingnya penguatan sistem mitigasi bencana dan ketahanan pangan di daerah-daerah terpencil Papua. Selain itu, dibutuhkan pula upaya peningkatan akses komunikasi dan infrastruktur agar masyarakat dapat dengan cepat melapor dan mendapatkan bantuan saat bencana terjadi.
Lebih dari itu, cerita ini juga mengingatkan kita semua akan arti empati dan solidaritas. Warga Apouwo, meski berada jauh dari hiruk-pikuk kota, sedang berjuang untuk bertahan hidup. Mereka tidak hanya butuh bantuan materi, tapi juga perhatian dan suara dari dunia luar yang dapat mendorong perubahan.
Saat ini, kampung tua di Papua Tengah itu tengah berjuang bangkit dari duka longsor dan krisis pangan yang menyertainya. Di balik keheningan gunung dan hutan, ada suara yang berharap dan menunggu uluran tangan. Semoga kisah mereka tidak hanya menjadi berita sesaat, melainkan panggilan bagi kita semua untuk peduli dan bertindak nyata.
Penulis Lambertus Magai Seorang Guru yang bertugas di pedalaman Papua