Oleh: PE RIn DU
Kicauan burung cenderawasih bersahutan di antara dahan pepohonan yang rindang. Mentari pagi menari di atas dedaunan, membangunkan tidur anak-anak kampung yang hidup dalam pelukan alam.
Di Kampung Hainowa, sebuah perkampungan kecil yang tersembunyi di tengah hutan Distrik Dipa, Kabupaten Nabire, hari baru selalu dimulai dengan semangat. Anak-anak telah berkumpul di halaman kampung ketika embun masih membasahi rumput. Mereka berolahraga, melatih otot dan semangat, sementara para mama menyiapkan sarapan di atas tungku batu berkaki tiga. Bara api menyala merah, air mendidih, dan keladi dimasak dengan cinta.
Hainowa memang jauh dari kota. Tak ada jalan raya, hanya helikopter yang bisa menjangkau tempat itu dalam waktu wajar. Itulah sebabnya pagi itu, suara baling-baling helikopter menggetarkan langit kampung. Anak-anak melompat-lompat kegirangan menyambut tamu dari langit.
Mereka adalah para guru dan petugas kesehatan yang ditugaskan dari luar Papua. Wajah-wajah baru itu disambut oleh Kepala Kampung dengan pelukan hangat.
“Selamat pagi… koya abata, anak guru, anak mantri, anak suster,” sapa Kepala Kampung dalam bahasa Mee, senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
Sapaan dibalas dengan salam yang ramah. Di antara rombongan itu, ada seorang guru muda bernama Akulian yang kebingungan mencari rumah kepala sekolah. Seorang pria lokal, Anderson, lewat dan memberikan petunjuk dalam bahasa daerah.
Ayo kita Jalan, Wilson sudah duluan “Nihawei Nisawei kii eumaitanoo,” katanya pelan.
Beruntung, Yakonias warga setempat segera datang membantu menerjemahkan, dan tanpa menunda waktu, mereka pun diantar menuju sekolah.
Sepanjang jalan, para guru melihat anak-anak berjalan menuju sekolah. Seragam mereka tak lengkap; ada yang hanya mengenakan celana merah lusuh, ada yang hanya berbaju putih sobek. Tapi semangat mereka terlihat utuh. Di antara mereka, seorang anak laki-laki kecil bernama Willson berjalan pelan sambil memeluk buku lusuhnya. Ia dikenal keras kepala, tapi tak pernah absen dari sekolah.
Di sekolah, Ibu Maria, sang kepala sekolah, menyambut para guru baru dengan tangan terbuka. Ruang kelas berdinding kayu sederhana mulai ramai. Anak-anak duduk tenang, mata mereka menatap ke papan tulis dengan penuh harap.
Namun, harapan itu mendadak goyah. Pintu kelas terbuka keras. Seorang pria tua masuk dengan wajah murka Matius, ayah Willson.
“Willson, kamu ikut saya! Kita harus ke kebun! Sekolah tidak bisa kasih makan kita!” bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Ibu guru berdiri dan menahan Willson, โTidak bisa, Bapak. Anak ini harus sekolah.โ
โTidak penting!โ Matius membalas cepat. โDia harus bantu saya kerja!โ
โKalau Willson sekolah,โ Yeremia, guru lainnya menimpali, โDia bisa punya masa depan yang lebih baik. Bisa bantu Bapak nanti.โ
โApa kalian tahu apa-apa tentang hidup kami di kampung?! Sekolah tidak bisa isi perut!โ seru Matius, suaranya kian meninggi.
Keributan itu terdengar hingga luar kelas. Beberapa warga datang dan mencoba menenangkan.
โMatius, biarkan Willson belajar!โ ucap seorang warga pelan namun tegas.
Namun Matius tetap bersikukuh. Ia menarik tangan anaknya, menyeret Willson keluar dari kelas.
โTidak, Bapakโฆ Saya mau sekolahโฆ Izinkan saya belajar!โ suara Willson pecah di udara, lirih namun penuh luka.
Anak-anak lainnya berusaha menahannya, tapi Matius lebih kuat. Dalam sekejap, bayangan mereka menghilang di balik semak.
Kelas itu hening. Hanya ada suara angin yang menggoyangkan dedaunan di luar jendela. Para guru terdiam. Warga satu per satu kembali ke rumah. Tapi suara Willson meski kecil meninggalkan jejak yang kuat di antara dinding kayu sekolah itu. Bapa Izinkan saya belajar.”
Penulis adalah Amison Iyai mahasiswa Papua di Jayapuraย