Jayapura, Anggrekpapua– Melihat dinamika sosial-politik dan konflik yang terus berlangsung di Tanah Papua, sekelompok mahasiswa Papua menggelar Diskusi Publik bertajuk “Di Balik Operasi Militer, Pemekaran, dan Izin Investasi di Papua: Siapa yang Diuntungkan?” di Aula Asrama Deiyai, Abepura, Kota Jayapura, Selasa (17/6/2025).
Emanuel Gobai, perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang hadir sebagai narasumber, menyampaikan bahwa hasil investigasi mereka menunjukkan bahwa seluruh kebijakan pemerintah terkait operasi militer, pemekaran wilayah, dan izin investasi di Papua merupakan implementasi dari kebijakan pertahanan keamanan nasional. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
“Kebijakan ini merupakan bagian dari kerangka besar pengendalian pusat atas Papua, termasuk pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tersebar di berbagai wilayah seperti Sorong, Merauke, Keerom, dan Sarmi,” ujar Emanuel Gobai.
Menurutnya, Undang-Undang Otsus mengharuskan pelibatan masyarakat adat dalam proses pelepasan tanah untuk investasi. Namun, kenyataannya, tidak satu pun perusahaan yang terlibat dalam proyek strategis nasional tersebut menjalankan mekanisme itu secara transparan.
“Sejak 2024, sudah dibentuk batalion militer khusus untuk mengawal proyek strategis nasional. Ini terjadi di berbagai wilayah, termasuk Sorong, Sarmi, Keerom, Merauke, dan Boven Digoel,” jelasnya.
Ia juga menyoroti keberadaan Keputusan Presiden (Keppres) tentang perlindungan objek vital nasional, yang mewajibkan keterlibatan TNI dan Polri dalam pengamanan. Kebijakan ini, kata Gobai, membuat masyarakat adat rentan mengalami perampasan tanah secara sepihak, tanpa persetujuan atau konsultasi.
“Ketika masyarakat adat marah dan mencoba memperjuangkan haknya, mereka justru berpotensi dibenturkan dengan kekuatan militer,” ujarnya.
Gobai mencatat bahwa sejak 2018 hingga 2025, konflik bersenjata yang disertai pengerahan militer telah menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi. Sebagian besar terjadi di wilayah yang menjadi target eksploitasi sumber daya alam.
Ia mencontohkan wilayah Intan Jaya (blok Wabu), Nduga (blok Agi Muga), Pegunungan Bintang (eksploitasi Antam di Gunung Aglimapum), Maibrat (proyek food estate), dan delapan kabupaten di Papua Tengah yang sejak 2023 telah mengeluarkan 54 izin pertambangan nikel, tembaga, dan emas.
“Ironisnya, para pengungsi akibat konflik ini tidak mendapatkan perhatian, apalagi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) dari pemerintah,” tutup Emanuel Gobai. (*)
Penulis: Hubertus Gobai