Oleh Kaleb Ganabi Mote
Papua. Surga kecil yang jatuh ke bumi. Begitulah orang menjuluki tanah yang terletak di ujung timur Indonesia ini. Dari udara, ia tampak seperti permadani hijau tak berujung, dengan gugusan gunung yang membelai langit, lembah-lembah subur yang menyimpan kehidupan, dan laut biru yang membentang jernih tak tercemar. Ia adalah rumah bagi ratusan suku dengan bahasa dan budaya yang unik, yang selama berabad-abad hidup selaras dengan alam. Namun di balik semua keindahan itu, Papua juga adalah tanah yang menangis tanah yang terluka dalam diam.
Luka itu tidak datang begitu saja. Ia tumbuh dari sejarah panjang penjajahan, ketidakadilan, dan pengabaian. Sejak Papua diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia melalui proses yang sarat kontroversi dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang cacat demokrasi, hingga kehadiran aparat keamanan yang masif rakyat Papua tidak pernah benar-benar merasa menjadi bagian dari keputusan tentang masa depan mereka sendiri. Mereka tidak dilibatkan; mereka hanya dijadikan objek, bukan subjek sejarah.
Kapitalisme global datang ke Papua dengan bendera investasi dan pembangunan. Tambang-tambang raksasa berdiri megah, mengeruk emas, tembaga, dan hasil bumi lainnya dari perut tanah Papua. Namun, siapa yang merasakan hasilnya? Di balik janji-janji kemakmuran itu, masyarakat adat justru terpinggirkan. Tanah ulayat mereka dirampas, hutan-hutan sakral dibabat habis, dan sungai-sungai yang dulu jernih kini tercemar limbah industri. Sumber daya alam Papua dijual ke pasar internasional, sementara rakyatnya tetap bergulat dengan kemiskinan dan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Imperialisme dalam bentuk baru pun merayap masuk. Bukan lagi dengan bedil dan panji kolonial, tetapi lewat korporasi multinasional dan kebijakan ekonomi yang menindas. Atas nama pembangunan, suara masyarakat adat dibungkam. Wilayah adat dikapling, dijadikan konsesi, dan kemudian dikuasai segelintir elite ekonomi yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di tanah Papua. Sementara itu, militerisme tumbuh sebagai alat pengaman kepentingan bukan rakyat. Kehadiran aparat sering kali menimbulkan rasa takut ketimbang rasa aman. Operasi-operasi militer yang berulang kali terjadi meninggalkan jejak luka batin yang dalam, membentuk trauma kolektif yang diwariskan lintas generasi.
Di tengah tekanan dari luar, elit politik baik lokal maupun nasional tidak selalu hadir sebagai pembela kepentingan rakyat. Sebaliknya, banyak dari mereka justru terjebak dalam permainan kekuasaan, jabatan, dan proyek-proyek ambisius yang jauh dari kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan pembangunan sering dibuat di Jakarta atau ibu kota provinsi, tanpa melibatkan masyarakat akar rumput. Aspirasi rakyat Papua sering dikerdilkan menjadi statistik, atau ditutup dengan narasi-narasi harmonisasi yang kosong.
Namun, di antara reruntuhan harapan dan suara yang dibungkam, masih ada perlawanan meski sunyi, meski tak selalu terlihat. Perlawanan itu hidup dalam doa-doa leluhur, dalam tarian adat yang terus dijaga, dalam sekolah-sekolah alternatif yang dibangun swadaya, dalam gerakan pemuda yang menulis dan berbicara, dan dalam masyarakat adat yang bersikeras mempertahankan tanahnya dari perampasan.
Perlawanan ini mungkin tidak selalu disuarakan lewat demonstrasi besar atau berita utama media, tetapi ia hidup dan tumbuh. Ia ada dalam semangat seorang ibu yang menanam kembali pohon di hutan adat. Ia ada dalam suara pemuda yang menulis puisi tentang tanahnya. Ia ada dalam anak-anak Papua yang belajar membaca di gubuk sederhana, bermimpi suatu hari nanti bisa membangun tanah kelahirannya tanpa harus mengorbankan identitas dan martabat mereka.
Papua bukan tanah kosong. Ia adalah rumah yang hidup. Ia adalah tanah yang memiliki ruh, sejarah, dan suara. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia, bukan sebagai wilayah yang harus dikontrol dan dieksploitasi, tetapi sebagai ruang yang harus didengar, dihargai, dan dilindungi.
Papua yang terluka tidak akan sembuh hanya dengan janji atau proyek pembangunan semu. Ia butuh pengakuan yang tulus, keadilan yang nyata, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Ia butuh ruang untuk bicara, untuk memilih jalannya sendiri, dan untuk disayangi tanpa syarat.
Dan selama masih ada yang menjaga, yang mencintai, dan yang memperjuangkan tanah ini meski dalam diam maka harapan itu tidak pernah benar-benar padam.
Penulis adalah Mahasiswa Papua Asal Mapia di Papua