Oleh Apner Semu, Tokoh Intelektual Papua Tengah
Pemekaran wilayah di Papua Tengah bukanlah isu biasa. Ini adalah wacana yang mengguncang akar sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kami. Di tengah janji manis pemerintah tentang percepatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan, pemekaran justru menimbulkan tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dan apakah masyarakat Papua Tengah benar-benar membutuhkan ini?
Bagi sebagian pihak, pemekaran dianggap sebagai strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan membuka akses ekonomi baru. Argumennya sederhana: dengan wilayah yang lebih kecil dan fokus, pemerintah daerah bisa bekerja lebih dekat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Lebih jauh, pemekaran diyakini dapat membuka lapangan kerja, mempercepat pembangunan, dan menghidupkan ekonomi lokal.
Namun sebagai putra daerah yang hidup dan tumbuh bersama denyut masyarakat Papua Tengah, saya melihat kenyataan yang jauh berbeda di lapangan. Pemekaran wilayah bukan menjawab kebutuhan rakyat, melainkan membuka pintu baru bagi kerentanan sosial, konflik elit, dan ketimpangan baru.
Pertama, soal keterbatasan infrastruktur. Pemekaran berarti hadirnya lembaga-lembaga pemerintahan baru, bangunan kantor, sarana transportasi, jaringan komunikasi, dan berbagai perangkat birokrasi lainnya. Semua itu menuntut biaya besar di tengah anggaran negara yang terbatas. Akibatnya, pemekaran justru berisiko membebani daerah dan menunda pembangunan riil di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat akar rumput.
Kedua, pemekaran justru menjadi ladang konflik kepentingan. Perebutan posisi, sumber daya, dan wilayah kekuasaan seringkali menimbulkan ketegangan antara elit politik lokal, tokoh adat, dan pemerintah pusat. Pertanyaan seperti siapa yang layak menjabat, siapa menguasai sumber daya, hingga bagaimana batas wilayah ditetapkan, bisa memicu gesekan horizontal antar kelompok. Dalam konteks Papua yang secara historis sudah sarat trauma konflik, ini adalah bahaya serius yang harus diwaspadai.
Ketiga, pemekaran seringkali tidak berangkat dari aspirasi murni rakyat Papua Tengah. Prosesnya cenderung elitis dan top-down. Konsultasi publik dilakukan sekadar formalitas, tanpa benar-benar mendengarkan suara masyarakat adat, tokoh pemuda, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Jika suara rakyat tidak menjadi pusat dari proses ini, maka pemekaran hanya akan melahirkan pemerintahan baru tanpa jiwa, tanpa legitimasi sosial.
Saya ingin menegaskan: keberhasilan pemekaran tidak bisa hanya diukur dari lahirnya undang-undang atau pelantikan pejabat baru. Tolok ukur sejatinya adalah apakah masyarakat merasakan perubahan nyata akses pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang terjangkau, lapangan kerja yang inklusif, serta rasa aman dan keadilan yang merata di seluruh pelosok Papua Tengah.
Jika tidak, maka pemekaran bukanlah solusi, melainkan awal dari persoalan baru. Ia berpotensi memperkuat struktur kekuasaan yang eksploitatif, memperluas jurang ketimpangan, dan menambah beban psikologis masyarakat yang selama ini telah lama termarjinalkan oleh sistem.
Pemerintah pusat dan daerah harus menghentikan kebijakan simbolik dan mulai mengedepankan pendekatan partisipatif. Ruang dialog harus dibuka seluas-luasnya. Bukan hanya mendengar, tapi benar-benar mendengarkan. Bukan hanya menjanjikan, tapi membuktikan.
Pemekaran adalah soal masa depan. Bukan masa depan para elit, tapi masa depan masyarakat adat, generasi muda Papua, dan harapan akan keadilan sosial yang belum tuntas diperjuangkan. Jika pemekaran tak dibarengi keberpihakan yang tulus pada rakyat, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan ancaman terhadap identitas, kedaulatan, dan keberlanjutan Papua Tengah. (*)