29.3 C
Special Region of Papua
Senin, Juni 9, 2025

Menata Kota Wamena: Antara Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

BACA JUGA

AnggrekPapua -Kita semua mendambakan Kota Wamena yang aman, damai, dan tenteram seperti sediakala. Sejak menjadi ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Wamena telah berkembang menjadi kota yang majemuk berisi berbagai suku, agama, dan aktivitas ekonomi yang beragam. Kehidupan sosial dan ekonomi kota ini pun semakin dinamis, ditandai dengan maraknya perdagangan, mulai dari barang kebutuhan pokok hingga barang-barang ilegal seperti lem aibon, senjata tajam, dan minuman keras (miras).

Namun, tidak semua dinamika itu berdampak positif. Ketika proses perkembangan kota tidak lagi menyeimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan norma sosial, masyarakat mulai mempertanyakan arah perubahan tersebut. Apakah semua regulasi dan kebijakan yang diterapkan selama ini benar-benar menjamin kehidupan yang manusiawi, aman, dan sejahtera? Jawabannya, sayangnya, belum tentu demikian.

Penangkapan dan Pemulangan Penjual Miras Melanggar Hak Asasi Manusia

Sejak pergantian kepemimpinan di Kabupaten Jayawijaya, pemerintah mulai melakukan pembersihan terhadap elemen-elemen yang dianggap merusak tatanan kehidupan bersama. Langkah ini mendapat dukungan luas dari masyarakat yang mendambakan kehidupan yang lebih baikโ€”bebas dari kekerasan, kekacauan, dan kerusakan sosial.

Bupati Jayawijaya memulai gerakan penataan ini dengan melakukan operasi terhadap senjata tajam, dilanjutkan dengan upaya memberantas peredaran miras secara menyeluruh, termasuk memulangkan para penjual miras beserta keluarganya dari Kota Wamena.

Langkah-langkah ini, meskipun bertujuan mulia, menimbulkan keprihatinan terutama dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat Wamena, saya mengapresiasi niat baik tersebut, namun menyoroti cara pelaksanaannya yang patut dikritisi.

Pemulangan secara paksa terhadap para penjual miras tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana tercantum dalam Pancasila. Tindakan semacam ini berpotensi melanggar HAM, karena setiap warga negara berhak untuk hidup dan mencari nafkah di wilayah manapun di Indonesia.

 

Saran dan Solusi

Sebagai solusi yang lebih berkeadilan, saya menyarankan agar Pemkab Jayawijaya tidak mengambil jalan pengusiran. Sebaliknya, pemerintah dapat memperketat regulasi dan mengontrol distribusi miras melalui kerja sama dengan Forkopimda, Polisi Adat, dan aparat penegak hukum lainnya.

Selain itu, perlu dilakukan pembinaan terhadap para distributor dan penjual miras agar mereka dapat beralih profesi menjadi pedagang barang-barang legal dan bermanfaat. Pendekatan ini akan jauh lebih manusiawi dan berkelanjutan dibandingkan dengan pendekatan koersif.

Setiap warga negara Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, memiliki hak yang sama untuk hidup dan mencari kehidupan yang layak di seluruh wilayah negara kesatuan ini. Maka, tindakan pengusiran yang tidak berdasar hukum sejatinya adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM, baik dari sudut pandang konstitusi, agama, maupun nilai-nilai kemanusiaan universal.

 

Kesimpulan

Saya menghargai niat dan tujuan baik Bupati Jayawijaya dalam membangun Kota Wamena yang lebih aman dan damai. Namun, cara dan sistem yang digunakan dalam menghadapi persoalan kekerasan dan kriminalitas di kota ini perlu ditinjau ulang. Pendekatan yang digunakan saat ini terlihat kurang profesional, cenderung emosional, dan tidak berbasis pada prinsip hukum dan HAM.

Sudah saatnya kita menata ulang strategi penegakan hukum di Jayawijaya dengan mempertimbangkan aspek keadilan, kemanusiaan, dan profesionalisme, agar kehidupan bermasyarakat dapat berjalan secara harmonis dan beradab.

Penulis adalah Ustadz Ismail Asso, Anggota MRP Papua Pegunungan Pokja Agama Islam.

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE ยป