22.8 C
Special Region of Papua
Sabtu, Juni 7, 2025

IPMADO Sorong Peringati 14 Tahun Tragedi Dogiyai Berdarah

BACA JUGA

– Ikatan Pelajar Mahasiswa Mahasiswi Kabupaten Dogiyai (IPMADO) Kota Studi Sorong memperingati 14 tahun peristiwa *Dogiyai Berdarah* yang terjadi pada 13–14 April 2011. Dalam rangka mengenang tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut, mereka menggelar aksi menyalakan lilin pada Minggu malam (13/4/2025) pukul 20.00 WIT.

Agustinus Yobee, perwakilan IPMADO, menyampaikan bahwa tragedi berdarah itu menewaskan dua warga sipil, yakni Dominikus Auwe dan Aloisius Waine. Selain itu, beberapa lainnya mengalami luka berat, termasuk Otin Yobe, Matias Iyai, dan Albert Pigai.

“Setelah kejadian, aparat TNI dan Polri melakukan penyisiran di Kabupaten Dogiyai. Sebanyak 10 rumah warga, kebun, dan ternak diratakan,” ujar Agustinus kepada wartawan.

Ia juga menambahkan, pengerahan pasukan TNI dan Polri dengan perlengkapan senjata lengkap secara berulang di sejumlah kabupaten seperti Dogiyai, Nabire, Paniai, dan Timika menunjukkan kekuatan militer dalam skala besar.

“Saat itu, Kabupaten Dogiyai menjadi sunyi. Masyarakat mengungsi ke kampung-kampung terdekat, bahkan ke hutan untuk menyelamatkan diri,” jelasnya.

Agustinus menceritakan pula kondisi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Banyak warga sipil kelaparan, jatuh sakit, bahkan meninggal dunia. Salah satunya adalah Detianis Goo (8 tahun) yang meninggal di tempat persembunyian bersama ibunya dari Kampung Putapa, Distrik Kamu Selatan. Koreta Goo (35), istri dari Agus Tebai, juga ditemukan meninggal dunia dalam pelariannya dari Mauwa ke Udekebo. Dua pemuda lainnya ditemukan tewas secara misterius.

“Kami melakukan aksi ini agar pemerintah pusat berkolaborasi dengan Komnas HAM dan penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini. Negara memiliki tanggung jawab menyelesaikan pelanggaran HAM seperti Paniai Berdarah, Biak Berdarah, dan khususnya Dogiyai Berdarah 13 April 2011,” tegasnya.

Seorang peserta aksi lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya menambahkan bahwa peristiwa Dogiyai Berdarah menunjukkan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif terhadap warga Papua.

“TNI dan Polri memandang kami orang Papua seperti binatang. Kami ingin ada mediasi dan respon nyata dari pemerintah untuk memberikan keadilan kepada para korban,” ujarnya.

Aksi ini tidak hanya sebagai peringatan, namun juga sebagai ruang berbagi informasi dan pengetahuan sejarah kekerasan negara terhadap rakyat Papua.

“Sejak Papua dikuasai oleh Indonesia, pelanggaran HAM terus terjadi. Maka, solidaritas adalah kunci untuk memperjuangkan keadilan,” pungkasnya.

Melalui refleksi 14 tahun ini, IPMADO berharap pemerintah pusat, terutama Presiden Republik Indonesia, mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan kasus Dogiyai Berdarah demi menegakkan nilai demokrasi dan keadilan di Tanah Papua.

Penulis Eskop Wisabla 

- Advertisement -spot_img

BERITA LAINNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

BERITA TERKINI

- Advertisement -spot_img
TRANSLATE »