Di tengah geliat pembangunan dan dinamika politik di Papua Tengah, isu pemekaran wilayah kembali mencuat. Kali ini, Mapia Rayawilayah adat yang berada di bawah naungan Kabupaten Dogiyai menjadi sorotan.Gagasan menjadikan Mapia sebagai daerah otonomi baru (DOB) tengah menjadi perbincangan hangat, bukan hanya di ruang-ruang birokrasi, tetapi juga di media sosial dan lapak-lapak diskusi warga.
Salah satu pemantik diskusi ini datang dari seorang intelektual muda Mapia, Matian Butu. Dalam sebuah video pendek yang ia unggah di Facebook, Matian berdiri dengan keyakinan sambil memegang dokumen tebal yang ia sebut sebagai โnaskah besar pemekaranโ. Di video berdurasi 1 menit 10 detik itu, ia menjelaskan bahwa dokumen tersebut merupakan hasil kerja tim pemekaran Kabupaten Mapia.
โIni dokumen dari Kabupaten Dogiyai sebagai bahan pembentukan Daerah Otonomi Baru, Kabupaten Mapia di Papua Tengah,โ ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dokumen itu telah melalui sejumlah tahap penting: mendapat dukungan dari mantan Bupati Dogiyai Yakobus Dumupa, disetujui oleh DPRD setempat, bahkan telah sampai di meja Komisi II DPR RI, Dirjen Otonomi Daerah, hingga Gubernur Papua Tengah.
โSudah ditandatangani. Dalam waktu dekat, antara tahun 2027 sampai 2028, Kabupaten Mapia bisa berdiri sendiri,โ tambahnya penuh optimisme.
Namun, seperti dua sisi mata uang, semangat pemekaran ini juga memunculkan kekhawatiran.
Di sisi lain, tokoh masyarakat Mapia, Amandus Iyai, memberikan pandangan yang sangat berbeda. Dalam sebuah wawancara dengan media lokal Kotekatv, Amandus menyuarakan kritik tajam terhadap rencana pemekaran ini.
โPemekaran memang bisa membawa pembangunan, tapi juga bisa membawa penderitaan. Yang untung hanya segelintir orangโpara elite. Tapi masyarakat luas yang akan menanggung beban. Mereka bisa kehilangan tanah, alam, bahkan identitas budaya,โ tegasnya.
Bagi Amandus, pemekaran bukan hanya soal administratif, tetapi soal nasib masyarakat dan hak atas tanah leluhur mereka.
Amandus juga mempertanyakan proses yang dijalani oleh pemerintah. Dalam sebuah acara terbuka di Bomomani, ia sempat menantang Bupati Dogiyai secara langsung.
โSaya tanya di depan umum, ini inisiatif siapa? Kalau memang dari masyarakat, harusnya kami dulu yang kumpulkan data, kami diskusikan bersama, lalu disampaikan ke DPR dan bupati. Tapi ini terbalik. Bupati justru mengklaim sepihak. Ini keputusan elit, bukan suara rakyat,โ katanya dengan nada kecewa.
Menurutnya, proses yang ideal adalah keterlibatan penuh masyarakat sejak awal, bukan sekadar sosialisasi formal setelah dokumen rampung.
โYang terjadi sekarang adalah pemaksaan. Masyarakat belum diajak bicara, tapi keputusan sudah diambil,โ katanya.
Isu pemekaran daerah memang bukan hal baru di Papua. Selama beberapa dekade terakhir, puluhan DOB lahir dengan dalih mendekatkan pelayanan publik dan mempercepat pembangunan. Namun, dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Infrastruktur minim, pelayanan publik tidak maksimal, dan konflik lahan kerap mewarnai daerah-daerah hasil pemekaran.
Di Mapia, kekhawatiran itu terasa nyata. Bagi sebagian warga, tanah bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga simbol kehidupan, warisan leluhur, dan bagian tak terpisahkan dari identitas. Kekhawatiran akan pengambilalihan lahan oleh investor, eksploitasi sumber daya alam, serta beban politik yang harus ditanggung masyarakat kecil menjadi alasan utama penolakan.
Namun di sisi lain, ada pula harapan. Harapan akan adanya rumah sakit sendiri, sekolah yang lebih dekat, akses jalan yang lebih baik, serta peluang kerja dan tata kelola yang lebih mandiri. Generasi muda Mapia, seperti Matian Butu, memandang pemekaran sebagai jalan keluar dari ketertinggalan dan ketergantungan.
Kini, Mapia berdiri di persimpangan. Di satu sisi ada janji kemajuan, di sisi lain ada bayang-bayang kehilangan. Pemekaran memang bisa menjadi jalan menuju perubahan, tetapi jika dilakukan tanpa partisipasi penuh masyarakat, ia justru bisa menjadi awal dari konflik panjang.
Yang jelas, masa depan Mapia tidak bisa ditentukan di ruang tertutup atau di atas meja rapat semata. Masa depan Mapia adalah hak semua orang yang menginjak tanah itu, yang menggantungkan hidup pada sungai, hutan, dan gunung-gunungnya. Karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ada satu hal yang tak boleh dilupakan: mendengar suara rakyat.(*)
Penulis Yulianus Magai wartawan tribun papuaย