Jayapura sedang dilanda keresahan. Di balik keindahannya sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi,” tanah Papua menghadapi berbagai ancaman serius—kerusakan lingkungan, perampasan tanah adat, dan ancaman terhadap budaya lokal. Namun, dari tengah gelombang kekhawatiran ini, muncul sebuah gerakan kecil tapi penuh harapan di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) pada Senin (18/11/2024).
Di bawah naungan Econusa, komunitas EcoDevender menghadirkan sebuah inisiatif yang unik: *lapak baca* dan *panggung seni*. Bertempat di halaman depan aula USTJ, acara ini menarik perhatian puluhan mahasiswa yang duduk dengan penuh antusias di bawah teduhnya pohon, membaca buku-buku bermuatan ekologi, budaya lokal, hingga pembangunan berkelanjutan.
Membangun Kesadaran Lewat Buku
Maksimus You, salah satu anggota EcoDevender, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan menghidupkan kembali kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan nilai-nilai budaya Papua.
“Kami ingin mahasiswa sadar bahwa Papua ini tidak hanya sekadar rumah, tetapi juga identitas yang harus dijaga. Melalui membaca, mereka bisa melihat dan memahami situasi Papua dengan perspektif yang lebih luas,” ujarnya.
Menurut Maksimus, Papua yang dulu dikenal sebagai surga kecil kini tengah menghadapi kerusakan yang mengkhawatirkan. “Orang bilang Papua itu surga kecil yang jatuh ke bumi, tapi itu dulu. Sekarang, surga ini perlahan hancur oleh eksploitasi besar-besaran dan ketidakadilan yang terjadi,” tambahnya dengan nada tegas.
Lapak baca ini, menurutnya, adalah bagian kecil dari perjuangan besar. Dengan memberikan akses literasi, EcoDevender berharap mahasiswa mulai tergerak untuk berpikir kritis, berbicara, dan mengambil langkah nyata demi keadilan bagi tanah Papua.
Antusiasme yang Menginspirasi
Inisiatif ini tak hanya menarik perhatian, tetapi juga membangkitkan semangat mahasiswa USTJ. Salah satunya adalah Kamus Bayage, yang mengaku senang dengan adanya kegiatan ini.
“Papua ini sedang tidak baik-baik saja. Kerusakan lingkungan, perampasan tanah adat, semua terjadi di depan mata kita. Saya sangat senang dengan gerakan lapak baca ini karena membantu kami menyadari bahwa perubahan bisa dimulai dari membaca,” ujarnya.
Kamus berharap kegiatan serupa dapat diadakan di lebih banyak universitas di tanah Papua, khususnya di kota Jayapura. “Ini adalah langkah awal untuk membangun generasi yang sadar akan masalah lingkungan dan budaya. Harapan saya, kegiatan seperti ini terus berlanjut,” tambahnya.
Seni sebagai Suara Perlawanan
Tak hanya literasi, panggung seni juga menjadi daya tarik utama. Dengan puisi, musik, dan tarian tradisional, EcoDevender menjadikan seni sebagai medium untuk menyuarakan pesan penting. Melalui nada dan gerakan, mereka menggambarkan keindahan sekaligus kerentanan tanah Papua.
“Dengan seni, kami ingin mahasiswa tidak hanya memahami, tetapi juga merasakan apa yang sedang terjadi di Papua. Seni itu bahasa universal; melalui ini, kami bisa menyentuh lebih banyak hati,” jelas Maksimus.
Berlanjut ke Kampus Lain
EcoDevender tidak berniat berhenti di sini. Maksimus mengungkapkan bahwa lapak baca ini akan dibawa ke berbagai universitas di Papua, dengan harapan semakin banyak mahasiswa yang terlibat.
“Kami ingin mahasiswa di seluruh Papua bangkit, mulai membaca, dan berani bersuara demi keadilan. Gerakan ini kecil, tapi kami percaya dampaknya akan besar jika terus dilakukan,” katanya penuh optimisme.
Menyulut Harapan di Tengah Krisis
Di tengah ancaman besar yang melanda tanah Papua, gerakan seperti lapak baca ini adalah secercah harapan. Dengan membaca dan berkesenian, mahasiswa Papua didorong untuk berpikir kritis, mencintai tanah kelahiran mereka, dan berdiri melawan ketidakadilan.
EcoDevender telah membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah sederhana. Dan di halaman depan USTJ, sebuah cerita kecil sedang ditulis—cerita tentang generasi muda yang terinspirasi untuk melindungi dan melestarikan tanah Papua yang mereka cintai.