Jayapura,Anggrekpapua.com- Jayapura, kota yang sering menjadi saksi bisu pergolakan nurani, kembali menjadi panggung perlawanan pada Jumat, 15 November 2024. Aksi demonstrasi damai yang digagas Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk menolak program transmigrasi di Tanah Papua berakhir tragis. Gas air mata memenuhi udara, jeritan menggema di jalanan, dan darah menjadi saksi keberanian yang tak kunjung pudar.
Di tengah insiden itu, Victor Yeimo, seorang aktivis kemanusiaan sekaligus juru bicara internasional KNPB, meluapkan isi hatinya di media sosial. Tulisan-tulisannya menjadi suara yang tak mampu diungkapkan oleh mereka yang dibungkam.
“Jalan-jalan yang penuh bekas luka ini menjadi saksi bahwa hati kami masih bernyawa, nurani kami tak terjual, dan kehormatan kami tak tertunduk,” tulisnya.
Kata-kata Yeimo seperti menggenggam bara api, mengingatkan dunia bahwa Papua tidak pernah benar-benar diam. Setiap langkah kaki mereka, meski berlumur darah dan air mata, adalah simbol perlawanan untuk sebuah kehormatan yang tak akan dijual murah.
Aksi yang berlangsung di Jayapura hari itu tidak hanya meninggalkan luka fisik bagi para peserta demonstrasi, polisi, dan jurnalis yang terluka. Ia juga meninggalkan bekas yang lebih dalam: luka kolektif yang kembali menyayat sejarah panjang ketidakadilan.
Program transmigrasi yang ditolak oleh KNPB dianggap sebagai bentuk penjajahan baru, meminggirkan hak-hak rakyat Papua di tanah leluhurnya sendiri.
Namun, Yeimo, dalam renungannya, menulis sesuatu yang mengejutkan. Jika ia adalah polisi, ia tidak akan memandang para demonstran sebagai ancaman. Sebaliknya, ia justru berterima kasih kepada mereka.
“Jika saya polisi kolonial, saya akan berterima kasih kepada rakyat jajahan yang berdemo, karena itu tanda mereka masih mengakui adanya negara meski tertindas. Namun, ketika suara mereka dibungkam, aksi mereka dihancurkan, dan aspirasi mereka disiksa, polisi justru membenarkan ketiadaan negara,” lanjutnya.
Kata-kata itu seperti cermin yang memantulkan bayangan kelam relasi antara negara dan rakyat Papua. Demonstrasi, bagi Yeimo, adalah ekspresi terakhir dari rakyat kecil yang masih percaya bahwa suara mereka layak didengar. Namun, ketika suara itu dipadamkan dengan kekerasan, ia melihat pengakuan rakyat pada negara mulai luntur.
Bagi Yeimo, luka-luka yang ada tidak hanya menjadi simbol penderitaan, tetapi juga sebuah pengingat akan keberanian yang terus hidup.
“Kami bukan penonton yang diam, bukan penghianat yang berlututโkami adalah penjaga nyala api, memastikan warisan ini tetap hidup,” tulisnya membatin.
Hari itu di Jayapura mungkin telah berlalu, tetapi gema perlawanan itu terus hidup. Ia hadir dalam bisikan angin pegunungan Papua, dalam langkah kaki anak-anak yang tumbuh dengan kesadaran akan identitasnya, dan dalam setiap kata yang ditorehkan oleh seorang Victor Yeimo. Papua mungkin penuh luka, tetapi ia tidak pernah kehilangan nyawanya.
Yulen Km Memau