SORONG ANGGREKPAPUA-Sehari ha setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagarai, menyampaikan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk melanjutkan program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, terutama Papua. Pernyataan ini disampaikan dalam acara serah terima jabatan Menteri Transmigrasi di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jakarta Selatan.
Kebijakan transmigrasi yang dimulai sejak Papua bergabung dengan Indonesia pada tahun 1963 kembali dihidupkan oleh rezim Prabowo-Gibran. Program ini dianggap sebagai bentuk kolonialisme modern atau neo-kolonialisme yang bertujuan mengendalikan berbagai aspek kehidupan masyarakat Papua, termasuk tanah adat mereka Neo-Kolonialisme dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia**
Program transmigrasi sering dikritik sebagai upaya sistematis untuk merampas hak politik, ekonomi, dan budaya masyarakat asli Papua. Kebijakan ini dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena merampas tanah adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Padahal, HAM adalah hak universal yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun.
Meski Papua memiliki status Otonomi Khusus (Otsus) yang seharusnya melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP), pelaksanaan kebijakan ini tidak optimal. Sebaliknya, program transmigrasi dan proyek strategis lainnya justru memperburuk konflik, menghancurkan budaya lokal, dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Dampak Negatif Program Transmigrasi
Program transmigrasi yang berfokus pada sektor pertanian dan perkebunan telah menimbulkan berbagai persoalan, di antaranya:
1. Ketimpangan Ekonomi: Pendatang sering kali mendominasi sektor ekonomi, sehingga masyarakat asli semakin terpinggirkan.
2. Konflik Sosial Perbedaan budaya antara pendatang dan masyarakat asli sering memicu ketegangan dan konflik.
3. Perebutan Lahan: Tanah adat sering dirampas untuk mendukung program transmigrasi, mengabaikan hak-hak masyarakat asli.
Selain itu, proyek pembangunan besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) telah menyebabkan hilangnya lahan dan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup masyarakat adat, khususnya di wilayah Merauke.
Militerisasi di Papua.
Kehadiran militer dalam program transmigrasi juga menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah telah membangun lima batalyon infanteri di Papua untuk mendukung program ketahanan pangan. Langkah ini dinilai bertentangan dengan tugas utama TNI berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Data dari Amnesty International mencatat bahwa kasus pelanggaran HAM di Papua terus meningkat, dengan 105 kasus berat tercatat sejak 2018 hingga 2022.
Tuntutan Solidaritas Rakyat Papua
Kami, Solidaritas Rakyat Papua Menolak Transmigrasi, menyatakan sikap tegas menolak kebijakan ini. Tuntutan kami adalah sebagai berikut:
1. Membatalkan pembangunan batalyon infanteri di Papua yang tidak sesuai dengan prinsip HAM.
2. Menghentikan semua proyek yang merusak lingkungan dan merampas tanah adat Papua.
3. Menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengancam keberlanjutan hutan dan tanah Papua.
4. Mencabut Undang-Undang Omnibus Law yang merugikan rakyat kecil.
5. Mengembalikan implementasi Otonomi Khusus ke pemerintah pusat karena dianggap hanya menjadi alat kolonialisme.
Kami menyerukan seluruh rakyat Papua untuk bangkit dan melawan ketidakadilan ini. Transmigrasi adalah ancaman serius bagi eksistensi budaya dan identitas masyarakat Papua. Saatnya bersuara untuk kebenaran, karena diam berarti menyetujui penindasan.
Diam Tertindas atau Bangkit Melawan
Solidaritas Tanpa Batas, Perjuangan Sampai Menang!
Salam Pembebasan! Kota Sorong, 15 November 2024
Koordinator Lapangan: Appul Heluka
Sekretaris Lapangan: Eskop Wisabla