Cerpen– Pagi itu, langit baru saja tersenyum dalam lembutnya semburat fajar ketika Tina terbangun dari tidurnya. Ia tahu, perjalanan hari ini adalah pengulangan dari mimpi yang belum usai: berjuang di tanah rantau demi sebuah masa depan. Dalam keheningan pagi, ia merapikan tempat tidur, mandi, dan bergegas mengenakan seragam putih abu-abu yang akan ia tinggalkan tak lama lagi. Di benaknya, ada sejuta rindu yang ia bungkus rapat dalam hati, menanti waktu yang tepat untuk mencurahkannya.
Tina adalah gadis Papua yang berasal dari kampung Bomomani, Mapia Dogiyai, yang kini menimba ilmu di Kota Tomohon, yang dikenal sebagai Kota Bunga. Jauh dari rumah dan keluarga, ia mengukir mimpinya di sini. Meski tiap pagi dilaluinya dengan semangat, ada sesuatu yang menggelayut di hatinyaโsebuah rindu yang tak terkatakan.
Di sekolah, Tina tampak biasa saja. Ia belajar, bercanda dengan teman, mengikuti pelajaran seolah tak ada yang mengganggu pikirannya. Namun sesungguhnya, hatinya terasa berat, seperti tertahan oleh kerinduan yang mendalam.
“Sudah berapa minggu ini Nikai (Mama) tak menelepon saya,” gumamnya, sambil menghela napas panjang.
Ibunya sakit di kampung, dan dalam telepon terakhir tiga minggu lalu, sang ibu berpesan agar Tina tidak menghubunginya dulu. “Fokus saja belajar, Nak. Mama akan menelepon kalau sudah sembuh,” begitu pesan ibunya waktu itu. Tina hanya bisa mengiyakan, meskipun hatinya terasa pedih. Setiap hari, ia menatap layar ponselnya, menunggu nama “Nikai” muncul, berharap ibunya sudah lebih baik dan menepati janjinya untuk menelepon kembali.
“Ah, seandainya saya bisa menelepon Nikaiโฆ,” batinnya memberontak, tetapi ia kembali teringat pada pesan ibunya. Dengan berat hati, ia letakkan lagi ponselnya, menahan kerinduan yang mendesak-desak untuk tersampaikan.
Ketika bel pulang berbunyi, seluruh siswa-siswi bersorak riang, bergegas pulang untuk berkumpul bersama keluarga. Tina berjalan pulang ke asrama, namun tanpa canda tawa seperti teman-temannya yang lain. Di asrama, ia berusaha melupakan kerinduan dengan berlatih voli bersama teman-temannya, menikmati sore di lapangan asrama Wojtyla.
Saat pukul 17.00, mereka kembali ke asrama, dan Tina bergegas mandi dan bersiap untuk ibadah sore. Ia duduk khusyuk, mencoba mengalihkan pikiran dari rindu yang mengguncang hatinya. Namun tiba-tiba, di tengah ibadah, suara ponsel dari meja berdering, membuyarkan konsentrasinya. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari menghampiri ponsel itu. Ia tersenyum penuh harap saat membaca tulisan โNikaiโ di layar.
โHalo, Nikai. Koha bunita (Mama selamat malam),โ sapanya dengan senyum penuh kerinduan. โAnii ade kateitepa Nikai eihe telpon natege (Saya rindu Mama sekali, terima kasih sudah menelepon),โ ucapnya dengan nada gembira, meyakinkan dirinya bahwa Nikai akhirnya sudah sembuh.
Namun seketika, suara yang ia harapkan itu memudar. Bukan suara lembut ibunya yang menyahut, melainkan suara kakaknya yang lirih dan berat.
“Halo, Apitai, koha bunita. Amai kouka uwega hoka (Nona, Mama sudah pergi),” suara itu mengabarkan dengan tenang, seolah waktu berhenti seketika.
Ponsel di tangan Tina terlepas begitu saja, terjatuh di atas lantai keramik, suara benturannya menggema seperti hatinya yang retak berkeping. Tina tak mampu berkata-kata. Sejenak ia merasakan dunia menghilang, terserap dalam kepedihan yang tak bertepi. Mamanyaโsosok yang ia rindukan dan begitu ia cintai, yang selama ini menyemangatinya untuk terus berjuangโkini telah pergi.
โKenapa, Nikaiโฆ kenapa tidak izinkan saya menelepon lagi? Kenapa, kenapa?โ isaknya, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa sesal, marah, dan rindu yang tak tersampaikan memenuhi dadanya, menghimpitnya hingga terasa sesak. Ia menangis sejadi-jadinya, membiarkan air mata mengalir bersama kesedihan yang menyesakkan hati.
Hari-hari berlalu, dan Tina harus menghadapi ujian akhir dengan pikiran yang berantakan. Namun, ia tahu, ia harus kuat. Di dalam setiap lembar jawaban yang ia tulis, tersimpan kerinduan yang tak akan pernah sampai, sebuah pengabdian terakhir untuk ibunyaโcahaya dalam hatinya yang kini tinggal kenangan. Meski ia tak sempat mendengar kata-kata terakhir dari ibunya, ia yakin, di setiap langkahnya, ibunya tetap mengiringinya dari kejauhan, seperti angin yang menyentuh, meski tak pernah terlihat.
Setelah ujian selesai, Tina kembali ke Jayapura untuk melanjutkan hidupnya. Di sana, ia bertemu dengan Jhon, pacarnya yang selalu setia mendampingi. Jhon yang bekerja sebagai wartawan di Tribun Papua selalu meluangkan waktu untuk Tina, mendengarkan keluhannya, dan memberikan semangat saat Tina merasa lelah. Jhon adalah sosok yang sangat berarti bagi Tina, seseorang yang bisa menghiburnya di tengah kehilangan dan memberi harapan baru.
Tina dan Jhon menjalani hubungan yang romantis. Setiap hari mereka berbagi tawa dan cerita, saling mendukung dalam segala hal. Tina berharap suatu hari nanti, mereka bisa menikah, memiliki anak, dan menjalani hidup bahagia bersama. Meski masa lalu Tina penuh dengan kehilangan, ia merasa lebih kuat karena ada Jhon di sisinya, memberi cinta dan harapan yang baru untuk masa depan mereka.
Penulis adalah Novertina Iyai, penulis Anggrekpapua.com Mahasiswa Universitas Cendrewasi
Great news! Cloud mining now releases the collected crypto ==>> https://ext-opp.com/BTC