CERPEN-Pagi itu dengan selembar angin berkabar. Ia menyapa dengan senyuman berseri di ruang kosong. Kadang-kadang ia hanya ingin sendiri, tanpa harus diperhatikan. Ketika jiwa ini tak ternilai, dimata manusia superior. Manusia-manusia yang katanya pandai bermain hukum, hukum dikebiri dan uang telah menjadi Tuhan.
Hari sudah pagi, tapi masih saja gelap. Cahaya tak pernah ada, kadang kala lupa membawa kosmos yang isinya adalah harapan. Dua tahun dalam gelombang ketidakpastian. Hanya melahirkan seribu simponie rindu. Tenanglah, rindu ini tercipta untuk memberikan cahaya bawah keyakinan itu akan tiba
Pagi itu, hati dan jiwa seakan tak mendukung. Seperti manusia tanpa roh, itulah potret diri ย serupa lorong ย panjang kamar tanpa cahaya juga udara. Gelap dindingnya menjelaskan bahwa negeri ini banyak kemunafikan para bandit, dan dua tahun dikelilingi besi-besi panjang yang mengurangi umurku.
Hati berdebar, mematung menatap wajah dinding. Ingatan menjadi sandi utama yang terus lengket di sel-sel kulit kepala. Katanya saja; Kataku, anakmu berada di penjara. Titip rindu ini walaupun ia mungkin bisu. Ia terbang seperti angin, berlayar ke pori-pori kulitnya yang keriput nan hitam. Tapi ketahuilah bahwa suaraย rindu yang bisu ini, akan terbang seperti burung.
Pagi ini, seperti dua tahun lalu. Kabar itu berlayar dan singgah ditelinga. Dengarnya; Tuhan telah memanggil anaknya kembali, kembali ke tempat keabadian. Sejuta cinta untuk ibunda, Selamat jalan. Itulah kataku dirumah kosong itu.
Ibunda, jika engkau bertanya sebelum meninggalkan dunia; dimana, anakku? Maka jawabannya adalah mereka. Mereka siapa? Ia dua tahun lalu, mereka memvonis tanpa bukti data yang diperoleh. Mereka mengubah umurku, dan mencabik tubuh dengan diteriaki monyet, monyet, dan monyet.
Catatan: Mispo terpaksa meninggalkan Nduga, Papua, mengungsi karena perang. Tapi di pengungsian, justru ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Dituduh membantai 17 pekerja PT Istaka Karya, terancam hukuman mati. Mispo sebenarnya masih anak-anak.
2024